Skip to content

benisatryo

next issue : cold war!

; kepada BG

aku sampaikan kepadamu,
dialog yang tak selesai

huruf-huruf disela jariku, dan jarimu
dan tentang puisi tanpa judul tubuhmu

mereka berjajar diantara kita yang bersila
diantara kita yang sedang diam saja

aku sampaikan kepadamu,
tentang yang tak pernah usai
tentang yang tak pernah sampai

Februari, 2011

Tags:

Seperti kata WS Rendra, kesabaran adalah bumi. Bumi adalah tempat kehidupan. Kesabaran membuat orang hidup, simpelnya seperti itulah. Tapi apa iya? Bagaimana membedakan kesabaran dengan kebodohan, atau kesabaran dengan keluguan, atau kesabaran dengan ke-pecundang-an. Jangan tanya saya. Karena mungkin saya adalah salah satu orang sabar yang sekaligus bodoh dan seorang pecundang. Tapi minimal saya bisa bersabar, walaupun tampak bodoh, dan saya punya bumi sendiri yang bisa saya namai “kesabaran”.

Kesabaran identik dengan keyakinan. Kita yakin terhadap suatu hal akan terjadi pada kita, dan kita bersabar menunggunya. Tapi, jangan pernah main-main dengan keyakinan, karena bisa jadi keyakinan ini yang bisa menghancurkan kesabaran kita.

Keyakinan identik dengan sebuah kepastian. Karena sudah pasti, maka kita yakin. Karena sudah pasti dapat nilai A dalam Logika II, maka saya yakin bisa menerapkan prinsip-prinsip penalaran dengan baik. Karena sudah pasti besok tanggal muda, maka saya yakin besok saya bisa beli kolesom di warung pakde. Tapi, tak selalu keyakinan berjalan mulus dengan kepastian bukan? Bagaimana dengan Tuhan? Saya yakin kalok Tuhan itu ada, meskipun belum pasti, kalok nggak yakin, bagaimana saya bisa bertahan hidup melewati berbagai macam persoalan hidup yang kaya celek ini. Kalok saya nggak yakin sama Tuhan, bagaimana saya bisa mencari jawaban tentang kepastian, salah satunya kepastian tentang kesabaran saya yang entah sampai kapan habisnya.

Apa yang menciptakan sebuah kesabaran? Atau kata apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata “sabar”? Kalok saya pertama kali mendengar kata “sabar”, yang pertama muncul adalah “antri”. Dari kata “antri” terlintas dalam benak saya yang berhubungan dengan “antri” adalah menunggu. Apakah dengan begitu adalah antrian yang menciptakan kesabaran? Dengan antri maka lahirlah kesabaran. Apakah untuk melahirkan kesabaran harus antri dulu, atau harus menunggu terlebih dahulu supaya bisa lahir sebuah kesabaran? Hayo piye? Menurut saya, yang menciptakan kesabaran adalah harapan. Saya mau pake logika antri untuk menjelaskannya.

Dalam sebuah antri, ada sebuah harapan agar antrian cepat selesai. Bagaimana supaya antrian cepat selesai, tentu dengan bersabar dan tertib, nggak jotos-jotosan yo, sek tertib yo, haha. Harapan agar antrian cepat selesai, memunculkan rasa sabar, walau sedikit, meskipun akhirnya tak jarang banyak yang emosi. Emosi saat antrian disebabkan oleh kehabisan rasa sabar. Habis? Tidak juga. Rasa sabar tidak pernah habis, hanya saja dikalahkan oleh keyakinan yang berlebih, bahwa antrian cepat selesai. Nah sekali lagi, jangan bermain-main dengan keyakinan anda, karena bisa mengalahkan rasa sabar anda.

Jadi bukankah bisa diterima pendapat saya tentang harapan yang melahirkan kesabaran? Bisa gak hah, Bangsat! Kalok gak terima sini gelut sama saya, Juh!

Manusia hidup dengan harapan. Seperti dalam lagunya Sujiwo Tejo yang judulnya Undian Harapan, manusia bisa bertahan seminggu tanpa makan dan minum, tapi manusia tak akan bisa hidup sedetikpun tanpa harapan. Harapan itu yang memompa jantung kita untuk terus berdenyut, mengalirkan darah dan oksigen ke utek. Harapan itu datang darimana? Dari langit!

Saya masih punya banyak pengharapan, harapan saya besar-besar, saya suka berharap-harap. Khususnya untuk hidup dan kehidupan supaya bermurah hati kepada saya. Harapan inilah yang membuat kesabaran saya berlipat-lipat, seperti perutmu!

Saya juga masih sabar, sangat sabar, meyakini sesuatu yang mungkin tidak pasti bahkan tidak mungkin. Saya yakin, kesabaran saya akan mengalahkan ketidak-mungkinan dalam sudut sempit kemungkinan-kemungkinan yang muncul, pada sebuah ruang ketidak-pastian.

Atau mungkin, saya hanya bermain-main dengan keyakinan saya? Apapun itu, ayam goreng Mbok Sabar itu enaknya minta ampun!

 

: buat B

dua tahun, waktu membeku, dalam halte ibukotamu.

sajak-sajakku berserakan di jalan membangun alibinya sendiri,
tentang dosa dan kerinduan yang bercampur aduk dengan asap knalpot.

bukankah kita tak pernah lelah menghitung mobil-mobil
plastik yang lalu lalang di depan kita? sambil sesekali
menunggu kabar baik dari zebra cross itu, supaya kita
bisa menyebrang dengan aman?

iya kan?

Jogjakarta, 27 Desember 2010

Tags:

: buat B

hebatnya, kerinduan yang menganga
begitu lebar dan dalam, seperti ombak
seperti sungai deras, dengan batu-batu
dan kayu.

dan pucuk-pucuk cemara bergoyang
daun-daun jatuh dan tumbuh, menjadi hujan
menjadi telaga, menjadi air di ujung bulu mata.

mereka menjadi cerita tanpa bahasa
dan cuaca selalu menjadi sebuah tanda baca.

bukankah kita selalu sanggup bercerita
meskipun kita sedang tak mau membicarakan apa-apa.

Jogjakarta, 27 Desember 2010

Tags:

: buat B

sajak-sajakku bergetar,
mencari jalan ; jalan menuju
kecup cium dan merah bibirmu

seperti do’a-do’a menjelang pagi
dan senyum kecil matahari, menyebrang gerimis
kabut dan cahaya

hari berganti ; pada jeda-jeda kalimat
yang turun bersama sepi, yang kecil-kecil
menjadi mendung

diam. diamlah.
dan jangan pernah berlari

Jogjakarta, 10 Desember

Tags:

dalam tanah basah, dan hujan buatan
kita saling membual, membuat bunga-bunga
di dalam hari-hari yang berdebu

dan, Nopember kali ini
jatuh dari puncak Merapi

Jogjakarta, 20 Nopember 2010

Tags:

: buat B

seperti jeda-jeda dalam kalimat
yang dibagi menjadi tiga rindu

satu untukmu, dua untukmu lagi

sekali melihat langit, dua kali melihat kembali
seperti berdoa atau hanya memeriksa cuaca

kali ini, tak akan luput puisi untukmu
dalam setiap jeda, ada rindu yang sedang berlaga

Jogjakarta, 05 Oktober 2010

Tags:

Sebagai sebuah aktivitas berkesenian, puisi memiliki sebuah proses kreatif dibaliknya. Selain sebagai sebuah aktivitas berkesenian, puisi juga merupakan sebuah aktivitas menulis, atau dalam bahasa saya akan saya istilahkan sebagai aktivitas pembahasaan. Puisi memiliki muatan-muatan bahasa, ada kata, ada frasa, ada kalimat, ada tujuan berkomunikasi, dan adanya sebuah ekspresi. Setiap puisi tidak serta merta hadir begitu saja tanpa adanya sebuah proses panjang. Proses tersebut yang nantinya akan membedakan puisi dengan karya tulis lainnya, yang juga merupakan aktivitas pembahasaan, seperti cerpen, novel, curahan hati, bahkan karya-karya ilmiah macam skripsi, essay, jurnal, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana sebuah puisi itu bisa muncul dalam sebuah tulisan, dan apa yang membuat dia berdiri sebuah karya bernama puisi, bukan karya tulis lainnya? Menurut saya ini teorinya J

Menurut saya, sebuah puisi hadir akibat dari harapan si penulis tentang puisi itu sendiri. Puisi bergentayangan dalam bentuk ide, dan masih tercerai berai dalam bentuk kata-kata. Ketika ada sebuah tragedi/peristiwa/fenomena, barulah si penulis mengeluarkan puisi tersebut, kata demi kata dari dalam dunia idenya. Apa yang nantinya membedakan kata-kata yang ingin dipakai dalam puisi itu menjadi sebuah kata-kata puitis, adalah harapan. Apabila kita berharap menulis puisi, tentu kita akan memilih dan menyeleksi kata apa yang ingin kita pakai, dan kata mana yang tidak ingin kita pakai. Begitupun ketika kita ingin menulis sebuah karya tulis lain, dan harapan awal menentukan bentuk karya tulis kita. Sederhananya, apabila awalnya kita berharap menulis essay, ditulis dengan gaya puitis pun hasil akhirnya tetap essay. Gaya puitis itu bagaimana ya?? Mmm, piye yo, saya juga bingung. Gini aja deh, liat buku Bahasa Indonesia aja, nggak tau kelas berapa, yang jelas disitu diajarkan bentuk-bentuk yang membangun sebuah kalimat supaya bisa dibilang sebuah puisi. Misal, ada rima a-b-a-b, a-a-a-a, a-a-b-b, a-b-c-d, dan lain sebagainya.

Kemudian, setelah harapan menulis puisi itu muncul, si penulis kemudian mencari ide untuk puisinya. Ide ini menentukan tentang hal apa yang ingin dia tulis dalam bentuk puisi. Apabila ide tersebut tak kunjung hadir, harapan si penulis untuk menulis puisi pun bisa menjadi ide. Misalnya saja puisi sebagai berikut.

Aku ingin menulis puisi, entah darimana asalnya. Aku kehabisan akal untuk menangkapnya. Entah dia terbuat dari hal macam apa, entah daun kering, tanah menggumpal, atau hanya berbentuk cahaya yang genit menembus dinding kamarku. Aku bingung, harus mulai darimana.Puisi adalah kebingungan itu sendiri.

Puisi sederhana tersebut menggambarkan bahwa ide yang didapat dalam menulis puisi berasal dari harapan tentang menulis puisi itu sendiri. Aku ingin menulis puisi, entah darimana asalnya. Aku kehabisan akal untuk menangkapnya, menggambarkan bahwa si penulis tidak punya ide untuk dibahas dalam puisinya, dan ide tersebut diambil dari harapannya untuk menulis puisi, tentang kebingungan menulis puisi itu sendiri. Entah dia terbuat dari hal macam apa, entah daun kering, tanah menggumpal, atau hanya berbentuk cahaya yang genit menembus dinding kamarku, merupakan sebuah pengalaman atau hal-hal yang ada disekitar si penulis.

Puisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman bahasa si penulis puisi itu sendiri. Sebagai contoh puisi diatas tadi, penulis satu dengan penulis lain memiliki pengalaman bahasa sendiri-sendiri. Pengalaman bahasa bisa muncul dari buku apa yang dia baca, hal-hal apa yang ia senangi, dan orang macam apa dia. Hal tersebut menentukan bentuk puisi yang ditulis. Saya akan mencontohkan sebuah puisi lagi, masih menggunakan puisi yang sama, hanya saja sedikit dirubah.

Tak ada puisi hari ini. Hanya huruf p-u-i-s-i yang berserakan diatas meja.Yang kubaca TAHI.

Puisi tersebut sama saja dengan puisi sebelumnya, hanya saja beda ekspresinya. Ini yang saya maksud dengan pengalaman bahasa menentukan sebuah puisi itu seperti apa.

Ketika ketiga hal tersebut (harapan—ide—pengalaman bahasa) dirangkai menjadi sebuah rantai, maka yang harus segera dilakukan adalah menulis. Pengalaman bahasa masih berbentuk konsep-konsep di alam ide si penulis puisi. Artinya, setiap penulis puisi mempunyai konsep-konsep sendiri yang selalu ada didalam kepalanya, yang bisa saja dia katakan/tuliskan setiap saat. Ketika pengalaman bahasa tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, barulah puisi itu muncul dan bisa dibaca oleh setiap orang.

Ada sebuah garis putus yang menghubungkan antara harapan si penulis terhadap puisi dengan aktivitasnya menulis puisi itu. Garis tersebut menggambarkan bahwa ada sebuah korelasi antar keduanya. Aktivitas menulis puisi tersebut adalah sebuah kristalisasi dari harapan-harapannya tentang puisi itu sendiri. Ketika aktivitas menulis berhenti, maka terciptalah sebuah puisi yang merupakan ekses dari rangkaian semua itu.

Saya mencoba membuat ilustrasi untuk menjelaskan apa yang saya tulis panjang lebar ini.

Sebagai sebuah bentuk kesenian, puisi merupakan suatu media ekspresi. Ketika si penulis puisi membuat sebuah puisi, tentu ada hal yang ingin dia sampaikan, entah secara gamblang atau sembunyi-sembunyi, tergantung si penulis puisi itu sendiri. Tapi, sampai tidaknya ekspresi si penulis puisi kepada pembaca, menurut saya puisi yang dihasilkan sudah merupakan ekspresi itu sendiri.

*puisi-puisi yang digunakan sebagai contoh, merupakan puisi saya sendiri, yang ditulis secara waton 🙂

Tags:

didalam gelisah mengucap takdir,
takdir mana yang tak bisa dikenang?

gugur berguguran, satu per satu
dibawah sepinya langit, diatas hutan
tak bercahaya, berputar-putar di udara

kepada terang dia kembali
lewat gerimis yang berbunyi

kebahagiaan adalah duka yang tertunda

Jogjakarta, 25 September 2010

Tags:

di sela-sela kabut yang itu
matahari berguguran, cahaya demi cahaya

di sela-sela kabut yang itu pula
sekilas kita memandang, cinta kita
yang berkalang, rintik demi rintik, menjadi kabut

menghalangi sudut pandang kita
tentang matahari yang berguguran, cahaya demi cahaya

dimana ia tiada?

Jogjakarta, 18 September 2010

Tags: