Skip to content

benisatryo

next issue : cold war!

Category Archives: Uncategorized

Seperti kata WS Rendra, kesabaran adalah bumi. Bumi adalah tempat kehidupan. Kesabaran membuat orang hidup, simpelnya seperti itulah. Tapi apa iya? Bagaimana membedakan kesabaran dengan kebodohan, atau kesabaran dengan keluguan, atau kesabaran dengan ke-pecundang-an. Jangan tanya saya. Karena mungkin saya adalah salah satu orang sabar yang sekaligus bodoh dan seorang pecundang. Tapi minimal saya bisa bersabar, walaupun tampak bodoh, dan saya punya bumi sendiri yang bisa saya namai “kesabaran”.

Kesabaran identik dengan keyakinan. Kita yakin terhadap suatu hal akan terjadi pada kita, dan kita bersabar menunggunya. Tapi, jangan pernah main-main dengan keyakinan, karena bisa jadi keyakinan ini yang bisa menghancurkan kesabaran kita.

Keyakinan identik dengan sebuah kepastian. Karena sudah pasti, maka kita yakin. Karena sudah pasti dapat nilai A dalam Logika II, maka saya yakin bisa menerapkan prinsip-prinsip penalaran dengan baik. Karena sudah pasti besok tanggal muda, maka saya yakin besok saya bisa beli kolesom di warung pakde. Tapi, tak selalu keyakinan berjalan mulus dengan kepastian bukan? Bagaimana dengan Tuhan? Saya yakin kalok Tuhan itu ada, meskipun belum pasti, kalok nggak yakin, bagaimana saya bisa bertahan hidup melewati berbagai macam persoalan hidup yang kaya celek ini. Kalok saya nggak yakin sama Tuhan, bagaimana saya bisa mencari jawaban tentang kepastian, salah satunya kepastian tentang kesabaran saya yang entah sampai kapan habisnya.

Apa yang menciptakan sebuah kesabaran? Atau kata apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata “sabar”? Kalok saya pertama kali mendengar kata “sabar”, yang pertama muncul adalah “antri”. Dari kata “antri” terlintas dalam benak saya yang berhubungan dengan “antri” adalah menunggu. Apakah dengan begitu adalah antrian yang menciptakan kesabaran? Dengan antri maka lahirlah kesabaran. Apakah untuk melahirkan kesabaran harus antri dulu, atau harus menunggu terlebih dahulu supaya bisa lahir sebuah kesabaran? Hayo piye? Menurut saya, yang menciptakan kesabaran adalah harapan. Saya mau pake logika antri untuk menjelaskannya.

Dalam sebuah antri, ada sebuah harapan agar antrian cepat selesai. Bagaimana supaya antrian cepat selesai, tentu dengan bersabar dan tertib, nggak jotos-jotosan yo, sek tertib yo, haha. Harapan agar antrian cepat selesai, memunculkan rasa sabar, walau sedikit, meskipun akhirnya tak jarang banyak yang emosi. Emosi saat antrian disebabkan oleh kehabisan rasa sabar. Habis? Tidak juga. Rasa sabar tidak pernah habis, hanya saja dikalahkan oleh keyakinan yang berlebih, bahwa antrian cepat selesai. Nah sekali lagi, jangan bermain-main dengan keyakinan anda, karena bisa mengalahkan rasa sabar anda.

Jadi bukankah bisa diterima pendapat saya tentang harapan yang melahirkan kesabaran? Bisa gak hah, Bangsat! Kalok gak terima sini gelut sama saya, Juh!

Manusia hidup dengan harapan. Seperti dalam lagunya Sujiwo Tejo yang judulnya Undian Harapan, manusia bisa bertahan seminggu tanpa makan dan minum, tapi manusia tak akan bisa hidup sedetikpun tanpa harapan. Harapan itu yang memompa jantung kita untuk terus berdenyut, mengalirkan darah dan oksigen ke utek. Harapan itu datang darimana? Dari langit!

Saya masih punya banyak pengharapan, harapan saya besar-besar, saya suka berharap-harap. Khususnya untuk hidup dan kehidupan supaya bermurah hati kepada saya. Harapan inilah yang membuat kesabaran saya berlipat-lipat, seperti perutmu!

Saya juga masih sabar, sangat sabar, meyakini sesuatu yang mungkin tidak pasti bahkan tidak mungkin. Saya yakin, kesabaran saya akan mengalahkan ketidak-mungkinan dalam sudut sempit kemungkinan-kemungkinan yang muncul, pada sebuah ruang ketidak-pastian.

Atau mungkin, saya hanya bermain-main dengan keyakinan saya? Apapun itu, ayam goreng Mbok Sabar itu enaknya minta ampun!

 

Jujur saya bukanlah seorang yang selalu mengikuti trend telepon seluler. Mulai dari ponsel warna, kamera, poliponik, mp3, sampai sekarang yang bisa facebookan saya tidak pernah menggubris. Tapi, saya termasuk orang yang sering berganti-ganti ponsel. Saya berganti-ganti ponsel bukan karena mengikuti trend, namun karena keadaan. Ada yang hilang, dijual karena butuh uang, sampai rusak total. Saya mulai dikasih ponsel oleh bapak saya pada tahun 2003, ketika itu saya baru kelas I SMU. Kenapa saya dikasih, ya enggak tau, lha wong itu ponsel juga gak guna-guna amat. Saya pacaran tetap mengandalkan wartel, meskipun sudah punya ponsel. Pacar saya juga udah punya ponsel, tapi gak terlalu digunakan juga. Mungkin masih gaptek 😀 Kepindahan saya ke Purwokerto mulai menunjukan intensitas penggunan ponsel yang sering. Saya sering berkirim sms dengan pacar saya yang ada di Jakarta. Namun, untuk telepon saya masih mengandalkan wartel.

Sampai akhirnya saya putus dengan pacar saya gara-gara wartel. Waktu itu saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk interlokal setiap hari, dan saya mulai malas dengan kebiasaan itu. Saya mulai ogah2an untuk menelpon dan akhirnya hubungan kami tak pernah jelas, sampai akhirnya kami mengakhiri hubungan tanpa menggunakan komunikasi babar plothas. Tau-tau ilang begitu aja. Huhuhuhuhuhu…

Entah kenapa, setelah putus, saya malah sering pake ponsel saya walaupun untuk sekedar mengirim sms kepada teman-teman dan gadis-gadis 😀 😀 Tanya PR, terus ngajak nongkrong, sms orang bengkel, sms Lebaran, atau main Space Impact.

Medio 2004 mulai muncul ponsel-ponsel canggih yang menggila. Bisa video, mp3, warnanya cerah, pokoknya canggih. Tapi saya nggak tertarik. Lho wong ponsel bego aja nggak terlalu berguna, apalagi ponsel canggih. Mau buat apa. Menurut hemat saya, ponsel itu ya untuk sms dan telepon saja. Sudah sebatas itu tok, gak ada yang lain. Kalok bisa buat ngrekam, mp3an, apalagi buat internetan pada saat sekarang ini, itu bukan ponsel namanya. Entah apa. Namanya ponsel ya telepon selular, telepon yang bisa dibawa kemana-mana. Sebuah alat untuk memudahkan kita dalam proses berkomunikasi, nggak perlu kabel, tinggal ngomong dimana saja bisa. Kalok fiturnya sudah melebihi itu ya sudah menggeser substansi dari ponsel itu sendiri. Lagipula, saya bukan bisnisman atau orang sibuk yang membutuhkan seabrek fitur-fitur semacam PDF Converter atau built-in Wifi dll.

Ponsel ya untuk sms dan telepon saja, daripada uang banyak dibuang untuk fitur yang gak pernah saya sentuh sama sekali, mending beli ponsel kelas low-end aja. Lagipula kalok pengen ngrekam video, saya sudah punya JVC, mau setel mp3 saya juga punya mp3 player, mau internetan saya juga sudah punya laptop. Berikut ini adalah ponsel yang pernah saya gunakan, berikut alasannya 😀

1. Nokia 5210 (Medio 2003)

5210

Ini adalah ponsel pertamaxx saya. Sebenarnya ini adalah barang warisan bapak, waktu itu bapak ganti ponsel dan memberikan ponsel lamanya kepada saya. Saya cukup senang, meskipun tidak terlalu sering menggunakannya.

2. Sony Ericsson T600 (Awal 2004)

t600

Ponsel ini adalah ponsel keduaxx saya. Alasan saya ganti waktu itu karena ponsel lama saya 5210, keypadnya rusak. Kemudian saya beli koran dan menjatuhkan pilihan pada ponsel ini. Modelnya lucu dan kecil sekali, jadi saya suka. Saya menggunakan ponsel ini sebagai gantungan kunci motor saya waktu itu 😀

3. Nokia 6610 (Akhir 2004)

N6610

Saya ganti ponsel lagi, padahal T600 baru saya pake 2-3 bulan. Waktu itu saya butuh uang untuk memodifikasi motor saya. Akhirnya saya menjual ponsel ini seharga 300K dan uangnya langsung saya pake untuk memodifikasi motor. Lama sekali saya tidak pegang ponsel, sekitar hampir setahun. Akhirnya saya dikasih warisan ponsel abang saya, yakni Nokia 6610. Ponsel ini adalah ponsel paling lama yang pernah saya pake.

4. Nokia 1112 (Medio 2007)

Nokia 1112

Ponsel ini saya beli pada pertengahan 2007. Waktu itu saya sudah kuliah 😀 Kenapa saya ganti ponsel, karena ponsel lama saya, Nokia 6610 rusak total setelah saya banting. Tidak perlu saya katakan alasannya kan kenapa saya harus membanting ponsel tersebut? Ok.

5. Samsung C170 (Akhir 2007)

C170

Ponsel ini saya beli karena ponsel lama saya hilang di kampus. Waktu itu mau Lebaran 2007, dan saya sedih sekali karena saya belum terlalu puas memakai ponsel tersebut. Saya suka sekali nada dering Nocturno yang ada pada ponsel N1112 tersebut :berduka: fuck buat pencuri ponsel saya di kampus! Yang bikin gela lagi, pulsa di ponsel tersebut hampir menembus angka 300K. Waktu itu saya punya kebiasaan nimbun pulsa, dan akhirnya hilang begitu saja di tangang pencuri.

6. Nokia 1108 (Akhir 2007)

N1108

Samsung C170 tersebut hanya seminggu mampir di tangan saya. Ternyata ponsel tersebut susah dipake dan tidak nyaman, akhirnya saya menjualnya dan menggantinya dengan Nokia 1108. Sampai sekarang saya pake Nokia 1108 😀 meskipun sudah berkali-kali jatuh bangun, ponsel tersebut tetap jernih 😀 hebat!!

7. Nokia 3110 Classic (Medio 2008)

N3110C

Ponsel ini sebenarnya milik adik saya yang saya bajak. Modelnya bagus dan saya suka. Adik saya yang masih ingusan itu saya bodohi dan dia mau saja menyerahkan ponsel ini kepada saya. Waktu itu saya bilang ponsel ini sebagai kenang-kenangan, karena saat itu kedua orangtua saya pindah ke Jakarta dan adik saya ikut pindah, sedangkan saya ngekos di Jogja. Namun, akibat dari kelicikan saya ini, ponsel tersebut hilang juga. Bangsatnya! ilangnya di kampus juga, di tempat yang sama dengan Nokia 1112 saya yang hilang dulu 😦

8. Nokia 1203 (Awal 2010)

N1203

Ponsel ini adalah ponsel yang penuh arti bagi saya. Ponsel ini adalah pemberian ayah saya yang terakhir. Beliau sering bercanda tentang ponsel yang saya gunakan, N1108, bahwa ponsel tersebut adalah ponsel bancet karena suaranya yang masih monoponik. Akhirnya, sebelum keberangkatannya ke China beliau memberikan uang kepada saya untuk membeli ponsel baru yang lebih merdu. Akhirnya uang yang beliau berikan saya belikan ponsel ini, yang murah meriah tapi poliponik, sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ayah pergi ke China tanggal 03 Maret 2010 pagi hari, dan saya membeli ponsel ini tanggal 28 Februari 2010 sore hari di Plaza Atrium Senen. Saya menerima kabar kematian ayah juga lewat ponsel ini. Ketika itu 19 Maret 2010, saya berada di atas KA Bima (Surabaya-Jakarta). Malam harinya (18/3) saya berangkat dari Tugu menuju Jakarta, karena ibu saya sedang bersedih atas kabar kritisnya ayah saya di China, maka saya berniat menemani beliau. Namun, ketika baru sampai Karawang, ibu saya menelpon bahwa ayah saya sudah meninggal 😦

Itulah cerita tentang ponsel saya. Sekarang saya punya dua ponsel, yang satu saya pake (N1108) yang satu lagi (N1203) saya simpan rapi di kardus, sebagai ponsel monumental dalam hidup saya. So, ponsel apa saja yang pernah kita punya? Itulah awal cerita sejarah yang kita punya, dimana kita mulai sadar akan pentingnya berkomunikasi.

:iloveindonesia:

Piala Dunia 2010 sudah memasuki babak semifinal. Ada 4 negara yang berhasil lolos ke babak ini, yakni Belanda, Uruguay, Jerman, dan Spanyol. Ada sebuah fakta yang menarik yang bisa ditemukan, yakni hegemoni negara-negara Amerika Latin yang hampir selalu menjadi kampiun, tatkala pegelaran Piala Dunia diselenggarakan diluar benua Eropa. Mari kita menilik Piala Dunia 2002 ketika diselenggarakan di Korea-Jepang. Brazil menghancurkan Jerman pada partai puncak, lewat dua gol milik Ronaldo. Kemudian pada tahun 1994, ketika Piala Dunia digelar di Amerika Serikat, lagi-lagi Brazil mempecundangi Italia lewat drama adu penalti yang monumental itu. Ketika itu Roberto Baggio menembakkan bola terlalu keras sehingga melayang diatas gawang Tafarell. Untuk lebih jelas, cek data berikut.

Uruguay 1930 —> juaranya Uruguay (4-2 vs Argentina)

Brazil 1950 —> juaranya Uruguay (2-1 vs Barzil)

Chilli 1962 —> juaranya Brazil (3-1 vs Chekoslovakia)

Meksiko 1970 —> juaranya Brazil (4-1 vs Italia)

Argentina 1978 —> juaranya Argentina (3-1 vs Belanda)

Meksiko 1986 —> juaranya Argentina (3-2 vs Jerman Barat)

Amerika 1994 —> juaranya Brazil (3-2 vs Italia)

Korea-Jepang 2002 —> juaranya Brazil (2-0 vs Jerman)

Data tersebut merupakan pegelaran Piala Dunia yang diselenggarakan di luar Eropa, dan terbukti belum ada tim dari benua Eropa yang sanggup menjadi kampiun ketika Piala Dunia diselenggarakan di luar benua Eropa. Menariknya, mulai tahun 1962 partai final selalu melibatkan salah satu dari tim Eropa, dan selalu saja tim Eropa gagal menjadi kampiun.

Pada 2010 ini, nampaknya tradisi akan berbalik. Setelah sampai pada fase semifinal ini, malah tim Eropa mendominasi. Ada 3 negara yang mengepung satu tim Amerika Latin, yakni Uruguay. Apakah Uruguay mampu mempertahankan hegemoni Amerika Latin pada Piala Dunia 2010 ini, yang diselenggarakan di Afrika? Uruguay harus mampu melangkahi Belanda terlebih dahulu untuk mencapai partai final. Kalaupun lolos, Uruguay harus mampu menyudahi perlawanan antara Jerman atau Spanyol.

Menurut saya tidak mungkin. Prediksi saya Belanda akan menghadapi Jerman pada partai puncak. Kenapa bukan Uruguay, ya karena Uruguay ketika melaju ke partai semifinal tidak didahului oleh partai-partai keras, mereka hanya menghadapi Korea dan Ghana. Menang dari Ghana saja hanya melalui adu pinalti, setelah sebelumnya pada babak ekstra time, Asamoah Gyan gagal mengeksekusi pinalti. Berarti hanya keberuntungan saja to? Beda dengan Belanda yang mampu mengatasi Slovakia dan Brasil, atau Spanyol yang menyudahi perlawanan Portugal dan Paraguay. Belum lagi Jerman yang mempecundangi Inggris dan Argentina. Tiga tim Eropa yang mengalami partai keras menghadapi tim-tim tangguh, sudah pasti bisa menjegal Uruguay yang hanya lolos berkat dewi fortuna.

Apabila dilihat dari perjalanannya, Jerman yang pantas menjadi kampiun kali ini. Mereka bisa melewati hadangan tim sekelas Inggris dan Argentina, dan yang paling dahsyat, mencetak masing-masing 4 gol ke gawang dua tim kuat itu. Belanda? cuma 2-1 lawan Brazil, itupun Brazil main dengan 10 pemain, Spanyol hanya sanggup 1-0 saja melawan Paraguay. Ck.

Pokoknya Jerman!

Tags:

Sudah sepekan perhelatan akbar sepak bola dunia ini berlangsung, dan ada beberapa poin menarik yang patut diperbincangkan. Selain PD pertama dalam sejarah sepak bola yang digelar di benua hitam ini, even akbar ini juga menandai bangkitnya kekuatan sepak bola Asia di tingkat internasional. Mulai dari Korea Selatan yang menekuk mantan juara Eropa 2004 Yunani dengan skor 2-0, Jepang yang menang 1-0 dari Kamerun, dan terakhir Korea Utara yang meskipun menyerah 2-1 dari Brasil, tim ini mampu mengimbangi permainan juara dunia 5 kali ini. Selain itu, tumbangnya Spanyol oleh Swiss 0-1 juga membuat Piala Dunia kali ini semakin menarik untuk diikuti. Spanyol adalah tim favorit juara dengan komposisi pemain kelas dunia yang tersebar di berbagai liga-liga papan atas Eropa.

Selain cerita di dalam lapangan, yang menjadikan Piala Dunia kali ini menjadi khas adalah kehadiran terompet Vuvuzela. Pada setiap pertandingan, terompet yang mengeluarkan bunyi seperti lebah ini selalu menggema sepanjang 90 menit. Terlebih ketika kesebelasan tuan rumah, Afrika Selatan yang bertanding, Vuvuzela semakin riuh bunyinya. Beberapa pemain tampak terganggu dengan suara bising tersebut, karena tak jarang mereka tidak dapat mendengarkan peluit wasit (apabila offside) dan bisa memecah konsentrasi. Vuvuzela merupakan instrumen khas Afrika Selatan dan mengeluarkan bunyi seperti lebah-lebah yang berdengung.

Untuk PD kali ini, Adidas meluncurkan bola resmi untuk piala dunia yang diberi nama Jabulani. Jabulani diambil dari bahasa Zulu yang berarti gembira. Namun, bola ini menuai kritik dari para penjaga gawan papan atas seperti, Gianluigi Buffon (Italia), Iker Cassilas (Spanyol), Julio Cesar (Brasil) bahwa bola ini sering berubah arah, sehingga sulit untuk ditangkap. Selain menuai kritik dari para kiper, Jabulani juga dikritik oleh striker mungil penuh talenta tim Tango, Lionel Messi. Menurutnya, bola ini terlalu ringan dan susah dikontrol sehingga ketika ditendang sulit untuk menemui sasaran. Kritikan Messi terhadap Jabulani mungkin disebabkan oleh pertandingan antara Argentina melawan Nigeria. Beberapa kali striker ini menembakkan bola dengan kaki pamungkasnya (kiri), namun tetap saja tidak membuahkan gol. Padahal biasanya dengan posisi semacam itu, Messi sangat mudah untuk mencetak gol, yakni dengan gaya khasnya mem-plesing bola tersebut ke tiang jauh dengan kaki kirinya.

Pesta sepak bola dunia yang diselenggarakan di Afrika Selatan ini juga menyajikan cerita-cerita klasik. Beberapa jurnalis mengalami kejahatan, semacam kemalingan di kamar hotel. Distribusi tiket yang kurang baik juga menyebabkan beberapa kursi di stadion melompong. Bahkan, sebelum pertandingan Jerman melawan Australia, para karyawan stadion melakukan demonstrasi yang akhirnya menjadi sebuah bentrokan. Para karyawan ini berdemo karena menuntut janji panitia atas upah yang dijanjikan. Pada awalnya uapah yang dijanjikan sebesar 190 dollar per hari, namun pada kenyataannya hanya dibayar 25 dollar per hari. Selain kejadian-kejadian tersebut, yang paling menarik adalah dengan hadirnya dukun-dukun yang meramaikan pagelaran ini. Bahkan, boneka vodoo dijual bebas guna mengguna-guna para pemain lawan.

Piala Dunia kali ini memang seakan kurang begitu menggema di Indonesia. Tidak seperti yang sudah-sudah, yakni dengan munculnya kampung World Cup dll. Piala Dunia kali ini seakan terganggu dengan berita-berita yang lebih menghebohkan di tanah air, semacam video mesum MIRIP AP, LM dan CT. Pertandingannya juga minim gol dan seolah-olah membosankan. Namun, terlepas dari itu saya tetap merasakan atmosfir yang sama dengan Piala Dunia yang sudah-sudah. Hawa yang saya rasakan saat ini adalah hawa-hawa sepak bola. Burjo menjadi ramai, banyak acara nonton bareng, dan kumpul-kumpul bersama kawan-kawan, bermain futsal, membeli atribut sepak bola, dan tentunya ikut senang dan terlarut dengan pesta olahraga yang sangat universal ini. Berteriak, melompat, berpelukan, meniup terompet, dan bergembira. Itulah sepak bola.

Semoga Jerman tidak ada yang bisa menghadang, amin!

Tags: , ,

Three days last this, i spend my day just in my room. Playing internet, listening music, playing guitar, make some video, recording some songs, watching TV. No eat, i just eat some fried tofu, fried banana, and ice tea. No bath, because i don’t wanna, i have no move, just sit down in front of computer, so i not sweaty, and i don’t need bath. No smoking, because i don’t have smoke anymore, if i want to smoke, i ask my friend sometimes. Or, i collect small money to buy one or two ciggaretes. I have no money, so i cannot going anywhere with my motorcycle, i affraid my motorcycle lack of gasoline, then i cannot buy the gasoline in the way.

In three days that, i cannot sleep well. I just sleep sleep chicken. One or two hour sleep, then wake up again, trying to sleep, difficult. My head sick, and my eyes like a ashtray. But, i cannot sleep. And, in the sunday night i can sleep. Because i eat a drugs sleep. In my sleep, i dream, a weird dream. My body change into a box of Lucky Strike ciggaretes. I walking in some place, that i don’t know. Everything white. In that place, i meet a lighter. Then, we become a friend, we playing, singing, running, watching Sigur Ros, and Jonsi playing his guitar with stick. We very happy.

After we watching Sigur Ros, we go home, and making love. In the center of making love, the lighter tell me. “Do not tell anyone if we have meet and watching Sigur Ros together, then make out. Do you know why, because i am a Metalhead.” So i answer “What the fuck! how come i have a ciggaretes, but i have no lighter.” Then, lighter whispering me “Shut up, and kiss me, Jack.” Then, i kiss a lighter. Her lips very hot. Like Angelina Jolie lips. I feel like a cowboy in the field, but without horse because i affraid with that animal, very annoying. After we make out, suddenly the clouds become black. Like want to rain. Hurricane, thunder, lightening, we running as fast as we can. Lighter jump jump, and i rolling.

“Run, you have to run, ass hole! Do not stop, and do not caught in the middle! Scream louder, do not look back, do not think about me, just run and scream. Burn! burn! the years is burn, yiha!” lighter barking me, with fire in her head. “Oh my God, your head honey, fire, fire!” i scream to her, but she’s becoming fade away, and gone. “Where you go, dammit! How come, how come!” i screaming again, but she have lost.”Dammit! what she just said? Fuckin’ hermeneutics!”

Then, i wake up. Smashing Pumpkins with their “Disarm” song, singing along night in my media player. I turn off the media player, then look the clock hand, that clock was display 06:08. I shake the box Lucky Strike, but it is empty. I check my cell phone, there is one message, from my mother. She ask me when i go home, to attend her cousins wedding party. I answer in my heart, i must be go home, just relax Mom. I cannot reply the messages, because there is not enough money in my sim card. Then, i try to sleep again, and again, and again. Hey, it is holiday!

p.s : dream is a escaping from reality; in my case, what is the reality, what, where, how is reality, i do not have any reality, my life is dreaming. I do not have anything to escaping into the dream, my dream is reality that never real. Reality, reality! @.@

oOo

Tags: ,

Setelah 4 tahun kurang saya menghuni kampus ini, dan saya mengamati gerak-gerik orang-orang didalamnya. Mereka ada disekitar saya, menghantui, menggerayangi, mengikuti, dan mengintai saya. Dan, tulisan ini saya dedikasikan kepada mereka, yang sudah menemani saya selama 4 tahun kurang ini. Buat temen-temen saya yang baru saja jadi sarjana, saya ucapkan selamat :beer:

1. Newbie (Maba)

Tipe mahasiswa ini adalah teman-teman baru, khususnya angkatan 2009. Mereka adalah keluarga, yang baru belajar untuk memahami, dan menjajaki bagaimana caranya hidup dan berkembang di tengah-tengah belantara Filsafat

nubie belajar filsafat

2. Butterfly (Kupu-kupu)

Tipe mahasiswa ini adalah yang hanya menganggap kampus sebagai persinggahan sementara. Mereka terlalu banyak kegiatan diluar kampus, sehingga jarang sekali kelihatan di kampus apabila tidak ada kepentingan (baca : kuliah) Ketika jam kuliah selesai, mereka langsung menuju tempat parkir dan langsung chao!

kuliah-pulang-kuliah-pulang

3. Batman Colleger (Kalong Kampus)

Tipe mahasiswa ini adalah jet-leg. Semuanya serba terbalik. Ketika orang-orang ke kampus pada waktu pagi dan siang hari, mereka baru menyambangi kampus pada malam hari, untuk sekedar ngobrol, ben2an, maen kartu, mabuk :beer: diskusi kusir, main internet (ngopi paste tugas), inilah itulah apalah..

batman kasarung

4. Discourse Trader (Penjual Wacana)

Tipe mahasiswa ini sangat filsafati. Mereka punya banyak ide dan biasanya idenya tersebut sangat ultra-mega-super dahsyat dan bombastis. Namun, sekali lagi semua itu hanya sebatas ide dan ide. Mereka sering berbagi ide tersebut sampek berjam-jam, ngalor ngidul, dan biasanya diakhiri dengan kalimat : aku yakin ini akan berjalan mulus!

sharing ide brilian

5. Amercementer (Tukang Denda)

Filsafat selalu harus berurusan dengan buku, sama dengan disiplin ilmu lain. Akses pengetahuan biasanya bisa didapatkan dari alat ini. Terlebih apabila ada tugas yang harus membaca buku tertentu. Tipe mahasiswa ini adalah mahasiswa yang lalai untuk mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya, dan seringkali terkena denda yang jumlahnya tak jarang bergunung-gunung.

buku yang menjadi duit

6. Canteen Geek (Over-Obsesi Kantin)

Tipe mahasiswa ini adalah yang menjadikan kantin sebagai tujuan kuliahnya. Berangkat dari kosan pagi-pagi sekali, dan menyempatkan diri ke kantin, selesai kuliah ke kantin, bahkan sampai malam di kantin untuk sekedar main kartu atau ngobrol sampek bosen

kantinku hidupku

7. Collegia Tigris (Macan Kampus)

Tipe mahasiswa ini sudah hampir punah, dan saya belum melihat lagi bibit-bibit macan yang baru. Mereka biasanya melakukan tindakan buas di kampus, mulai dari mabuk di siang bolong sampek aksi-aksi reaksioner semacam berkelahi dan lain sejenisnya. Namun, sebenarnya tipe mahasiswa ini ada diantara ketiadaannya, kalok di Filsafat. Saya selama 4 tahun kurang disini, belum pernah yang namanya melihat adanya macan kampus memakan anaknya sendiri (menindas kawan sendiri) karena kami di Filsafat menganut sistem kekerabatan anti-hierarkis namun tetap saling menghormati.  Jadi, tipe mahasiswa ini agak terpendam dalam hati masing-masing individunya, karena rasa saling menghormati yang sangat terjaga di kampus saya yang tercinta ini.

pak ketipak preman-preman

8. Sleepy Colleger (Si Tukang Tidur)

Tipe mahasiswa ini biasanya sering saya temui pada saat kuliah pagi. Mungkin mereka terlalu larut dalam mengerjakan tugas, berdiskusi, jualan, facebookan, nungguin downlodan JAV, atau memang tidak bisa tidur di malam hari. Mahasiswa ini sebenarnya satu tipe dengan Batman Colleger, namun dengan versi yang masih niat kuliah. Bahkan, ada juga yang saya temui ketika kuliah jam2 sibuk (jam10-14) ada aja yang tidur dengan mencuri-curi posisi.

nina bobo, oh nina bobo

9. PertamaX Hunter (Mahasiswa Kepagian)

Tipe mahasiswa ini adalah mahasiswa yang selalu datang paling pagi dan pertama kali nyampek kampus. Pernah waktu itu saya baru mau pulang ke kosan, saya sudah menemui seorang mahasiswa yang sedang duduk sendiri sambil baca buku di taman Firdaus (taman yang hanya ada di Filsafat), padahal hari masih pagi sekali. Salut buat mereka!

pahlawan kepagian

10. Ghosts of Signature (Titip Absen)

Tipe mahasiswa inilah yang menakutkan. Mereka ada, dalam ketiadaannya. Mereka mengada, namun tidak ada. Tubuh mereka halus, layaknya angin atau cahaya, meliuk-liuk di atas kertas absensi, sret…sret..sret.. kun fayakun maka, jadilah sebuah tanda tangan, hihihiihi *suara puas kuntilanak

Kismis..kisah-kisah hari Kamis

11. Freeze Examiner

Tipe mahasiswa ini biasa kita temui di berbagai kampus dimanapun belahan buminya. Namun untuk mahasiswa Filsafat, ketika mahasiswa ini menghadapi sebuah ujian akhir, mereka termenung bukan karena pikiran mereka kosong. Mereka semacam berkontemplasi dan membaca mantra-mantra dalam hati (mengumpat dosen, mengumpat teman sebelah, mengumpat pengawas, mengumpat tulisan teman sebelah yang susah dibaca, mengumpat kabag akademik, mengumpat keadaan, mengumpat, mengumpat, dan akhirnya mengumpat-ngumpat (sembunyi-sembunyi) membuka buku catatan, yang ada didalam tas. Dan, ape beribu apes, dia tidak pernah mencatat apapun :hammer

12. Old-Man

Tipe mahasiswa inilah yang sudah mengecap asam garam kehidupan kampus. Mereka adalah sumber referensi, informasi, tempat menimba ilmu, tempat kebijaksanaan itu muncul, tempat apapun pokoknya. Mereka adalah orang-orang yang saya kagumi, hormati, sayangi, cintai, banggakan. Apa jadinya apabila saya tidak pernah duduk satu kelas bersama mereka, apa jadinya apabila saya tidak pernah berinteraksi bersama mereka, apa jadinya apabila saya tidak pernah satu kelompok presentasi dengan mereka. Apa jadinya saya…Jadi, saya sangat sedih melihat orang-orang ini mulai hilang satu per satu, mulai keluar dari dalam goa. Apapun itu, saya tetap bangga pernah kenal dengan mereka semua :kiss:

old-man calladium (tua-tua keladi)

So, manusia-manusia seperti itulah yang ada di kampus saya. Mereka begitu dekat dan nyata. Entahlah, mungkin saya bisa masuk ke dalam semua kategori di atas. Mereka yang mewarnai kampus saya, kampus yang kecil dan bahagia ini. Dimana ide-ide tumbuh subur, seperti jamur di musim hujan. Menyebalkan atau tidak, mereka adalah keluarga saya, teman-teman saya, pacar-pacar saya, guru-guru saya, adik-adik saya, dan saya sangat menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi saya. Terlepas dari itu, saya hanya ingin membuat mereka bangga pernah mengenal saya. Haha..

Tags: ,

Saya menulis ini, ketika saya benar-benar merasa kehilangan beliau. Meskipun sampai hari kematiannya saya tidak berada disampingnya, dan sampai sekarang saya belum tahu cara menangisi kepergiannya. Dua hari kedepan adalah ulang tahunnya, dimana dia sudah tidak bisa lagi merayakannya.

ayah dan kakak, sebelum operasi cangkok ginjal

(foto ini diambil sesaat sebelum operasi, kira-kira satu minggu sebelum beliau meninggal)

Saya tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengenang ayah saya. Saya berusaha masuk ke dalam ingatan saya yang paling jauh, jauh sekali, sampai kepada masa kecil saya. Mungkin ingatan ini yang berada pada detik pertama, saya mulai bisa mengingat, yakni ketika kami pindah rumah dari Purwokerto ke Jogjakarta. Kira-kira tahun 1992. Umur saya waktu itu sekitar 4-5 tahun, saya bermain sepeda kesana-kemari, sementara ayah saya sibuk memindahkan barang-barang. Ayah membawa kami sekeluarga pindah ke Jogjakarta, karena beliau harus bekerja di Jogjakarta dan kami sekeluarga harus ikut.

Jogjakarta adalah masa kecil saya. Banyak sekali ingatan-ingatan yang berlari-lari dalam otak saya, sehingga saya kesulitan untuk mengurutkannya, detik demi detik kejadian saya bersama ayah saya.

Pernah satu kali saya membuat mie rebus instant. Saya membuat dua bungkus sekaligus, karena saya lapar. Kemudian, ayah saya bilang supaya dibuat satu-satu saja jangan sekaligus, apabila lapar nanti bisa bikin lagi. Namun, saya tidak mengindahkannya. Saya tetap membuat mie tersebut dua bungkus sekaligus. Alhasil, saya kekenyangan dan mie tersebut tidak habis, kemudian ayah memarahi saya, beliau menumpahkan mangkok berisi mie instant yang sudah lembek-lembek itu di kepala saya.

Pernah satu kali saya mandi, dan saya selalu suka untuk berendam di bak mandi. Bak mandi saya waktu itu besar sekali, atau mungkin tubuh saya yang masih kecil, jadi serasa kayak kolam renang. Kemudian, ayah selalu komplain kenapa bak mandi selalu keruh dan kotor kalok saya habis mandi. Kemudian saya ketahuan kalok suka berendam di bak mandi, dan saya dimarahi.

Pernah satu kali, ketika ada pasar malam (Sekaten) ayah mengajak kami sekeluarga untuk mengunjunginya. Disana ramai sekali. Kakak saya membeli sebuah boneka kanguru besar berwarna coklat muda. Kemudian, ayah menawari saya boneka, namun saya tidak mau. Sampai di rumah, saya berebut untuk bermain boneka itu dengan kakak saya, hasilnya ayah marah, kenapa tadi ditawari nggak mau, sekarang malah rebutan. Ayah marah dan saya disuruh membeli sendiri boneka tersebut, dia melemparkan uang pecahan 50.000-an kearah muka saya.

Pernah satu kali, ketika gigi susu saya mau tanggal dan saya rewel karena kesakitan. Kebetulan kakak saya juga ingin cabut gigi, karena ada gigi yang tumpang tindih. Jadi, saya sekalian diajak ke dokter gigi untuk mencabut gigi saya yang oglek. Sesampainya di dokter gigi, saya takut, lebih-lebih mendengar mesin bor gigi, dan saya memutuskan untuk mogok, tidak mau di cabut giginya. Ayah saya marah, padahal sudah bayar bea pendaftaran. Di jalan pulang beliau memarahi saya, sambil menyetir mobil. Gas mobilnya di gajet-gajetkan (jadi mobil jalannya ndut-ndutan) bikin saya sakit kepala.

Pernah satu kali saya dibelikan ayah bola sepak ukuran 5. Warnanya hitam putih. Saya suka sekali. Setiap hari sepulang sekolah saya selalu mengajak teman saya bermain, kalo tidak ada yang mau, saya main sendirian. Ketika ayah pulang makan siang, beliau melihat saya sedang bermain bola sendiri. Diambilnya bola itu dan dibawa pulang, sambil mengocehi saya main bola panas-panas. Beliau ke dapur mengambil bendo (semacam pisau berukuran besar), kemudian membelahnya, namun tidak bisa karena bola itu terbuat dari karet. Saya tertawa. Beliau mengganti alat untuk membelah bola, kali ini dengan pisau, beliau tidak membelahnya, kali ini menusuknya. Hasilnya bola itu kempes, dan saya tidak jadi tertawa, malah menangis.

Pernah satu kali saya pulang bermain terlalu sore, sekitar jam 6. Baru sampai di halaman rumah, ayah sudah menunggu di depan pintu sambil memasang wajah “makan bayi”. Kemudian saya kabur. Beliau berteriak supaya saya jangan lari, sambil memegang batu, ya batu, batu berukuran sedang. Saya semakin menambah kecepatan berlari saya. Kemudian, beberapa saat kemudian, saya mengendap-endap lewat pintu belakang (dapur). Rupanya disana sudah ada ayah saya, dan saya ditangkap, kemudian dimarahi kenapa pulang terlalu sore.

Pernah satu kali, bahkan terlalu sering saya mengambek di mall. Waktu itu belum ada Malioboro Mall (sudah ada mungkin, tapi saya nggak tahu dan nggak peduli), kami sekeluarga sering pergi ke Ramai Mall. Makan bersama di Es Teller 77, jalan-jalan, dan saya selalu berdiam di toko mainan. Tiba saatnya pulang, saya tetap disana dan merasa bahagia berada disekitar mainan-mainan itu. Namun, ayah saya memaksa pulang. Saya ngambek dan menangis di mall. Hampir setiap kali pergi ke mall, saya selalu seperti itu.

Pernah satu kali saya sakit gondongan. Waktu itu ayah baru mendapat surat pindah tugas ke Ujung Pandang (sekarang Makassar). Ibu menangis. Menangis karena pindahnya jauh sekali, ke luar Jawa. Saya sedang berbaring di kursi tamu, kemudian ayah menghampiri saya, dan memberikan saya bungkusan. Isinya burger, ya burger Mc Donald’s. Hari itu kali pertamanya saya makan burger.

Ujung Pandang adalah setting tempat berikutnya, saya bersama ayah. Tidak terlalu banyak ingatan bersama ayah di tempat ini, mungkin karena ayah sering pergi ke luar kota untuk tuntutan karir. Dalam satu bulan, beliau hanya satu sampai dua minggu saja berada di rumah. Beliau sering bercerita tentang kejadian-kejadian, pengalaman, dimanapun kota yang dia singgahi. Mulai dari pelosok Sulawesi Selatan (Sungguminasa, Jeneponto, Toraja, Soppeng, Sidrap, Pangkep, Pinrang, Wajo, dll) sampai menjelajah pulau Sulawesi, dari Gorontalo sampai Buton. Beliau selalu membawa oleh-oleh, entah itu makanan atau cerita-cerita menarik.

Pernah satu kali saya sedang makan es krim Conello. Nenek saya yang kebetulan ikut ke Ujung Pandang untuk menemani ibu saya yang sedang hamil tua, kepingin juga. Saya tidak mau kasih es krim itu. Kemudian ibu saya menasehati saya, dan saya nurut, meski dengan berat hati. Kemudian nenek memakan es krim saya separuh, dan dikembalikan ke saya. Saya tidak mau, karena es krim itu bekas nenek, jadi langsung saya buang ke tempat sampah. Kebetulan ayah pulang makan siang, dan melihat saya dimarahi ibu karena membuang es krim dan bersikap tidak sopan terhadap nenek. Setelah tahu duduk permasalahannya, ayah langsung naik pitam. Saya disabeti pake tutup mesin cuci.

Pernah satu kali saya berebut es krim Conello dengan kakak saya. Sebenarnya bukan berebut, namun es krim saya sudah habis, sedangkan punya kakak saya belum, jadi saya kepengen lagi. Kebetulan ayah sedang tidur siang, dan beliau merasa terganggu dengan keributan kami. Tiba-tiba dia bangun, dan langsung pergi entah kemana. Saat pulang, dia bawa es krim Conello sepuluh biji, ya sepuluh biji. Saya disuruh memakan semua. Saya malah menangis waktu itu. Ayah saya kemudian meng-keramasi kepala saya dengan es krim tersebut, sepuluh biji banyaknya.

Pernah satu kali saya mengambek kepada ibu saya, karena tidak diijinkan bermain layang-layang. Saya nekat mengumpulkan uang jajan untuk membeli sebuah layang-layang dan segulungan benang. Namun sesampainya di rumah layang-layang saya di buang. Saya marah. Marah sekali. Kemudian saya pergi dari rumah. Saya berjalan kaki menyusuri jalan belakang komplek. Rumah saya di jalan Cendrawasih, dan tibalah saya pada kompleks Pantai Losari. Disitu saya duduk kayak orang begok, tidak tahu mau ngapain. Saya sampai sore menjelang malam waktu itu, baru memutuskan untuk pulang karena tidak tahu harus berbuat apa. Setibanya di rumah, saya disambut oleh ayah saya dengan wajah kebingungan, dan dia memeluk saya.

Di Ujung Pandang, kami sempat pindah rumah. Semula rumah kami berada di jalan Cendrawasih kemudian pindah ke jalan Hati Mulia. Disana ada rumah milik kantor yang jauh, sangat jauh, lebih baik dari rumah kami yang di jalan Cendrawasih. Waktu itu sedang pecah kerusuhan berbau SARA, yakni warga pribumi memerangi etnis Chinesse, suasana kota sungguh mencekam.

Pernah satu kali tangan saya di operasi. Dari rumah sampai ke RS. Pelamonia, saya tegang sekali. Sampai tiba waktunya saya terbaring di meja operasi, ayah selalu di samping saya. Sambil memberi support, dia berkata “Nanti tak beliin mainan yang banyak”.

Pernah satu kali saya ketahuan mencuri uang 10.000 rupiah, untuk membeli permen karet Lotte yang ada mainan bongkar pasangnya. Waktu itu saya gemar sekali mengkoleksi, dan saya ingin punya banyak sekaligus, jadi saya beli permen itu langsung lima bungkus, dan akhirnya saya ketahuan. Saya dimarahi habis-habisan oleh ayah saya.

Jakarta adalah setting tempat berikutnya, saya bersama ayah. Setelah kurang lebih 2 tahun berada di Ujung Pandang, ayah dipindah ke Jakarta.

Di Jakarta saya sudah agak besar, yakni kelas 6 SD. Tahun-tahun tersebut ayah juga jarang di rumah, karena beliau sering tugas ke luar kota. Ingatan-ingatan tentang dirinya juga tidak terlalu banyak (yang substansial) hadir dalam otak saya.

Pernah satu kali saya diajak ayah ke Pasar Senen untuk membeli perlengkapan sekolah yakni tas. Hal ini untuk mempersiapkan hari menjadi siswa baru di sekolah baru saya. Kemudian saya memakai tas itu dengan riang gembira. Namun, sepulang sekolah saya dibetak di jalan, dan tas baru saya ikut dibawa. Saya sedih, dan pulang sambil menangis.

Pernah satu kali saya merasa dekat sekali dengan ayah. Yaitu ketika saya di sunat. Waktu itu kami sekeluarga berangkat ke Purwokerto, dan saya di sunat disana. Semalaman saya gelisah, sulit untuk tidur. Ayah saya selalu menemani saya, beliau memberikan semangat. Kata-kata yang paling saya pegang adalah “Belum pernah ada orang yang mati, gara-gara di sunat”. Kata-kata itu lantas membuat saya tenang. Esok paginya ketika saya di sunat, ayah ada disamping saya, memberikan support yang luar biasa.

Pernah satu kali ayah saya marah besar akibat nilai rapor saya jeblok. Waktu itu saya sudah SMP kelas I. Pada caturwulan pertama saya berhasil ranking III, namun pada caturwulan kedua, saya tidak mendapat ranking. Saya dimarahi habis-habisan. Kemudian, saya membuktikan isi otak saya kepada ayah, yakni menjadi ranking II pada caturwulan ketiga, dan berhasil naik kelas dengan mudah.

Pernah satu kali saya ingin naik motor. Kebetulan ayah baru membeli motor baru, dan saya ingin mencobanya. Waktu itu saya sudah SMU kelas I. Setelah saya bujuk, ayah mau mengalah dan dia pergi ke kantor naik bis kota. Pada suatu hari ayah ingin mengetes kemampuan saya naik motor, beliau meminta saya untuk mengantarnya ke jalan besar, tempat dia biasa menunggu bis. Saya berhasil mengantarnya, namun sepulang dari mengantar beliau, saya nyusruk masuk ke got.

Pernah satu kali, saya ngambek kepada ayah. Karena beliau mau pindah ke Semarang, dan saya harus ikut. Padahal saya sudah punya pacar. Pacar saya cantik sekali, sedangkan saya jelek, jadi bagaimana nanti kalok saya berpisah, orang cumak dia yang mau sama saya. Saya ngambek, tidak mau sekolah.

Pernah satu kali saya membolos sekolah bersama pacar saya. Sebenarnya bukan membolos, tetapi karena terlambat, jadi menurut peraturan sekolah, saya tidak boleh masuk, dan hanya diberikan surat peringatan untuk ditandatangani orang tua. Rupanya ayah, ke sekolahan untuk menemui guru saya, kepentingannya adalah untuk memberitahu bahwa saya akan pindah, dan mengurus surat-surat kepindahan saya. Mengetahui saya tidak sekolah hari itu, padahal pamit, ayah saya marah.

Pernah satu kali ketika kami sekeluarga siap untuk berangkat ke Semarang dalam rangka pindah rumah. Saya menghilang dari jam 10 pagi, padahal kami harus berangkat jam 3. Saya berada di rumah pacar saya, untuk acara tangis-tangisan. Ayah mencari saya kemana-mana, dan saya baru kembali ke rumah jam 2 siang. Saya dimarahi, dan ditanya darimana, dan saya menjawab dari rumah pacar. Melihat wajah saya yang tampak bete, kemudian ayah bilang “alah, kayak gitu aja ditangisin, besok kan dapet lagi”. Saya cumak mbatin WTF!

Saya pindah ke Purwokerto, sementara ayah dan ibu saya di Semarang. Alasannya, saya sudah SMU dan ayah berpikir masih sering pindah tugas lagi. Beliau kasihan dengan pendidikan saya apabila saya terus ikut pindah. Jadi saya ditarok di rumah nenek di Purwokerto sampek lulus SMU.

Purwokerto adalah setting cerita berikutnya. Namun, ditempat ini saya tidak tinggal lagi bersama ayah, karena ayah berada di Semarang.

Pernah satu kali ketika baru  pindahan, saya langsung sakit demam berdarah dan tipes. Saya harus opname di rumah sakit. Ayah berangkat dari Semarang jam 12 malam dan sampai di Purwokerto sekitar jam 5 pagi. Beliau langsung ke rumah sakit dan menemani saya.

Baru 7 bulan di Semarang, ayah harus pindah tugas lagi ke Denpasar. Ayah berangkat sendirian, sedangkan ibu saya tinggal di Purwokerto, menemani saya yang sudah kelas II SMU. Ayah tinggal di Denpasar sendirian.

Satu bulan sekali pasti ayah pulang, menengok kami sekeluarga, dan sekedar makan bersama.

Di Denpasar ayah mulai sakit-sakitan. Kondisi kesehatan beliau semakin menurun, mungkin karena beliau sudah menginjak usia setengah abad.

Kemudian, saya lulus SMU. Ayah saya menyarankan supaya saya mengambil jurusan Ekonomi atau Hukum, supaya bisa menggantikan beliau di Pegadaian.

Namun, tanpa sepengetahuan ayah, saya mengambil jurusan Filsafat. Ketika tiba pengumuman SPMB, saya diterima di Fakultas Filsafat UGM, dan ayah kaget, beliau langsung menepuk bathuknya (jidat). Beliau menyarankan saya untuk melepas jurusan itu dan mengganti dengan jurusan lain, namun saya bersikeras. “aduh, dek jurusan ra nggenah”, begitu katanya.

Ketika saya mulai berpikir untuk mencari kos-kosan di Jogja, rupanya ayah saya membawa kabar gembira, bahwa beliau rupanya di pindah tugas ke Jogjakarta.

Jogjakarta adalah setting cerita berikutnya, saya bersama ayah. Di kota ini, saya juga sering bertengkar dengan ayah mulai dari hal kecil sampai hal besar.

Pernah satu kali saya merasa ditinggalkan oleh ayah saya. Saya mendaftar sendiri, pusing sendiri, kemana-mana sendiri. Ayah saya masih ngambek kepada saya mungkin, kenapa saya tetap bersikeras kuliah di Filsafat.

Pernah satu kali saya tidak pulang selama seminggu lebih ke rumah. Saya pulang apabila uang saya habis. Itupun saya hanya menemui ibu saya saja. Kemudian ayah merasa saya sedang ngambek kepada dia, akhirnya dia mengalah dan saya di restui untuk kuliah di Filsafat.

Ayah mulai terdeteksi terkena penyakit gagal ginjal. Beliau terlihat putus asa, terlebih ketika di vonis cuci darah sebanyak satu minggu sekali. Beberapa bulan kemudian, intensitas cuci darah beliau meningkat dari satu kali seminggu menjadi dua kali seminggu.

Saya tidak pernah sekalipun menemani ayah pergi cuci darah. Saya sebal melihat rumah sakit, mencium baunya, terlebih di klinik Hemodialisa, banyak orang yang bergelut dengan penyakit ginjalnya, mereka berpacu dengan harapan kosong dan hidupnya bergantung pada sebuah mesin. Begitu juga dengan ayah saya sendiri.

Meskipun ayah menjalani cuci darah sebanyak dua kali seminggu, beliau tampak semangat dalam menjalani hidup, bekerja, dan tetap berusaha menjadi ayah yang baik. Meskipun saya tahu, dalam hati kecilnya beliau pasti putus asa, karena umur seorang penderita gagal ginjal tergantung pada jumlah uang yang dipunya. Apabila uang habis, umur juga habis.

Ayah sering marah kepada saya, karena saya jarang pulang ke rumah, kalau pulang diatas jam 12 malam.

Selama dua tahun berada di Jogja, akhirnya ayah dipindah tugas ke kantor pusat. Mengingat masa kerjanya yang hampir menginjak tahun ke-30, masa pensiun ayah sudah dekat, jadi pihak direksi memindahkan ayah ke Jakarta. Sedangkan saya yang masih kuliah, akhirnya nge kos di Patangpuluhan, arah barat Jogjakarta.

Jakarta adalah setting tempat berikutnya, dan kota inilah tempat cerita akhir dari kami. Beliau akhirnya menyerah terhadap penyakitnya.

Selama ayah di Jakarta dan saya di Jogja, kami jarang berkomunikasi. Saya tidak pernah mengangkat telponnya, dan hanya sesekali membalas sms beliau. Saya juga jarang pulang ke Jakarta, paling hanya 6 bulan sekali, itu pun hanya sebentar, satu atau dua hari saya pulang ke Jogja lagi.

Tiba saatnya ayah akan bertolak ke China untuk berobat. Akhirnya saya pulang, untuk mengantar beliau ke bandara. Beliau berangkat ditemani kakak saya, sedangkan ibu saya yang ingin ikut harus terganjal oleh adik perempuan saya yang masih harus diurusi.

Ayah berangkat tanggal 3 Maret. Sebelum itu, ayah membelikan saya handphone baru, karena menurut ayah, handphone saya handphone bancet, bunyinya bikin pusing. Jadi saya dikasih uang untuk membeli hhandphone baru. Akhirnya saya membeli handphone yang lebih bagus, meskipun harganya 275 ribu, namun suaranya gak bikin pusing alias poliponik.

Jauh sebelum itu, ayah juga membelikan saya motor baru. Karena motor saya (hasil rampasan motor ayah yang di Jakarta) dianggap sudah tidak layak, karena ulah saya memodifikasi motor tersebut berlebihan.

Jauh sebelum itu, pernah satu kali saya membawa teman saya Gita ke rumah. Saya pulang bareng dengan dia dari Jogja, dan saya bermaksud mengantarnya sampai rumah. Saya tarok di rumah saya dahulu, baru kemudian saya antar kalok hari sudah agak terang, karena ketika saya tiba pas dini hari.

Di dapur ayah bertanya kepada saya, siapa yang saya bawa. Kemudian saya bilang kalau orang ini yang besok harus beliau lamar untuk jadi menantu, saya sembari tertawa. Kemudian ayah bilang “Ck, kamu ini macem2 aja, siapa namanya?”. Saya bilang Brigitta Isabella. Kemudian ayah saya menjawab “kok namanya bukan kayak orang Jawa”. Saya hanya tertawa.

Ayah memang unik, terkadang menyebalkan, terkadang membuat saya ingin menangis.

Terkadang seperti balita. Beliau mempunyai kebiasaan membuat jus jeruk dan es teh, mungkin untuk mengusir rasa bosannya. Ketika di Hero atau Carrefour beliau selalu kegirangan dan heboh sendiri melihat jus Pulpy Orange. Ayah memang tidak boleh banyak minum, karena kalau kebanyakan minum, cairan akan memenuhi tubuhnya, akibat gagalnya fungsi ginjal. Jadi beliau hanya memandang dan melihat jus Pulpy Orange dengan seksama.

Ayah terkadang lucu, pernah satu kali ketika saya pulang dengan potongan rambut Mohawk, ayah gerah melihatnya. Beliau menyuruh saya untuk merubah potongan itu dan saya tidak mau, dengan alasan saya sudah besar dan tahu apa yang saya pilih.

Kemudian beliau memberikan saya uang 1.000.000 rupiah untuk merubah potongan itu. “aku mending kalah uang, dari pada liat anaknya aeng-aeng”, begitu testimoninya.

Beliau sangat menyayangi anak-anaknya, meskipun kadang-kadang kami menyebalkan (khususnya saya)

Beliau ingin sekali mengajak anak-anaknya melancong, namun “kontrak” cuci darah yang membuat beliau tidak bisa pergi jauh-jauh.

Tanggal 3 Maret 2010, ketika pagi masih ufuk, kami sekeluarga pergi ke bandara untuk mengantar beliau dan kakak saya. Sesampainya di bandara, suasana begitu dingin, ayah juga tidak mau ada perpisahan. Kami disuruh langsung pulang saja, karena pesawat baru berangkat jam 8 pagi, beliau tidak mau kami menunggu terlalu lama. Beliau pergi begitu saja, tidak ada pelukan dengan ibu saya, hanya bersalaman dan mengelus kepala ibu saya. Saya berusaha memeluk namun begitu cepat beliau melepasnya. “udah, udah”, begitu dia bilang kepada saya. “cepat sembuh pah, semoga sehat”, saya hanya bilang begitu.

Akhirnya, pada tanggal 19 Maret 2010, beliau menyerah. Jam 6 pagi waktu China, atau sekitar jam 5 pagi waktu Indonesia. Saya dikabari oleh ibu saya via telpon, waktu itu posisi saya sedang di kereta, tepatnya di Karawang. Saya bermaksud pulang, menemani ibu dan adik saya yang sendirian di rumah. Saya bertolak ke Jakarta malam sebelumnya, jam 10 malam tepatnya. Ibu menangis sejadi-jadinya, dan saya tidak bisa berbicara banyak.

Sesampainya di rumah, ibu hanya memeluk saya. Badannya lemah sekali, dan tangisnya terisak-isak. “Papahmu udah gak ada dek”, begitu dia bilang sambil memeluk saya, saya yang kaku dan tidak bisa bergerak.

Pernah satu kali ayah bilang kepada saya : Laki-laki harus punya privasi.

Wahyudi Budijanto (Purbalingga, 21 Mei 1956 – Hunan, 19 Maret 2010)

oOo

Saya baru saja menyelesaikan empat buah lagu saya, dan dengan secepat kilat mengunggahnya di situs jejaring sosial (Myspace). Berkali-kali saya memutar lagu-lagu tersebut, dan tidak bosan-bosannya saya mbatin betapa bagusnya lagu yang saya bikin. Wong lagunya sendiri ya jelas gak bakal bosan. Namun, ada hal yang membuat saya bosan, walaupun baru satu hari pasca lagu-lagu tersebut saya sebar di internet.

Tadi malam (15/5) saya dan kawan saya menonton sebuah acara musik di Atmajaya. Musik bukan sembarang musik tentunya, karena yang akan bermain musik adalah band post-rock spektakuler lokal yang bernama Individual Live. Pertama kali saya nonton aksi panggung mereka adalah ketika mereka menjadi band pembuka pas Santa Monica main ke Jogja, tepatnya di TBY. Asli, mulut saya langsung ndowoh tak bisa tertutup melihat mereka. Benar-benar God Speed You Black Emperor rule! opoo kui?? 🙂

Malam ini kali kedua saya menonton mereka, dan tetap saja takjub, sama seperti ketika saya melihat mereka pertama kali. Inilah musik. Saya memejamkan mata sejenak, sambil menikmati musik yang mereka kemas, dan hasilnya saya merasa tenang, damai, dan ada sebuah perasaan bergejolak di dalam dada, sama seperti saat kita jatuh cinta. Ya, inilah musik. Sebelum mereka main, saya juga menyaksikan penampilan Frau. Saya sangat tertarik dengan lirik-lirik yang dibawakan dalam setiap lagunya. Benar-benar kewes dengan dentingan nada-nada yang dihasilkan jemarinya lewat media piano. Ya, inilah musik.

Lalu saya berpikir, kenapa saya begitu percaya diri menyebarluaskan lagu-lagu saya yang hanya diiringi oleh gitar, itupun gitar kocokan pengamen. Kenapa saya begitu berani mengunggah lagu-lagu saya di internet. Saya merasa malu, minder, dan kecil hati. Mereka musisi yang nggak tanggung-tanggung, sedangkan saya, main gitar aja cumak bisa kunci dasar. Satu-satunya kelebihan saya adalah membuat puisi :malu:

Membuat puisi pun gak total-total banget. Siapa sih saya? Di jagat persilatan puisi ini. Pernahkah Sapardi Djoko Damono mendengar nama saya? Berapa buku sih yang saya punya di rak? Sampai 2000 jumlahnya? Hahaha, 10 juga gak sampai, itu juga ada beberapa yang hasil nilep. Lantas, apakah pantas saya bicara banyak tentang puisi lah, kritik puisi lah, bahkan memahami puisi saya sendiri pun masih bingung. Bagaimana mau jadi penyair, baca buku saja saya malas. Kecuali kalok kepepet, baru saya baca buku. Satu-satunya modal yang saya punya adalah masa bodoh. Saya menulis puisi, tanpa pernah membaca literasi apapun sebelumnya. Nulis ya tinggal nulis. Setelah beberapa judul jadi, dan bentuknya seperti itu-itu saja, baru saya membuka diri saya terhadap referensi.

Kembali pada masalah band-band’an. Saya sangat suka musik. Ya, siapa sih yang enggak. Dari situ, saya ingin membuat musik saya sendiri. Dahulu kala, jaman SMU saya membat sebuah band yang hanya main sekali saja, yakni penutupan MOS (Masa Orientasi Siswa). Setelah itu, bubar. Lagunya pun masih bawain punya orang, ya pas jaman itu lagi booming Punk Rock lah, Melodic lah, jadi saya main Blink2an hahahaha.

Musik tidak seperti buku. Saya tinggal mendengarkan musik saja kalau saya ingin tahu tentang musik tertentu, dan saya bukan orang yang malas untuk mendengarkan. Jadi, referensi tentang musik jauh lebih lancar, ketimbang referensi saya mengenai buku-buku puisi. Oleh karena referensi mengenai musik jauh lebih lancar, maka saya mempunyai banyak bahan untuk membuat musik saya sendiri. Namun, tetap saja ketika saya berangkat dari menikmati musik saja, maka selamanya saya hanya bisa menjadi penikmat musik sejati. Saya tidak punya kemampuan bermain musik, selain memainkan pita suara saya. Jadi yang bisa saya lakukan adalah mencari orang-orang yang sepaham dengan selera musik saya untuk membangun sebuah band.

Namun, sudah 5 tahun lebih saya mencari dan mencari, gak ada orang yang cocok. Maka, dengan masa bodoh itu, saya nekat membuat musik saya sendiri, dengan kemampuan bermusik saya sendiri. Hasilnya, ya itu tadi, saya kerasa minder dan malu, melihat Individual Live, Frau, Risky Summerbee, Cranial Incisored, Spider’s Last Moment, Death Vommit, dan banyak band-band lokal Jogja (dimana saya tinggal dan sering liat mereka main) yang bermain musik tidak hanya bermain-main. Mereka menghargai musik dengan caranya sendiri-sendiri, dan saya langsung berpikir, apakah yang saya lakukan sudah menghargai musik, dengan menjadikannya sebuah pelarian atas media puis-puisi saya.

Entahlah. Satu hal yang pasti, saya berada pada titik dimana semangat dan keputusasaan sedang berkecamuk.

* ketika saya menulis ini, playlist winamp saya sedang memutar lagu Melinda – Cinta Satu Malam berulang-ulang. Just share gan :beer:

Bukan untuk bermaksud menyinggung atau menyulut permusuhan antar suporter, judul tersebut saya pilih karena saya sudah terlalu muak dan bosan dengan berita tawuran yang melibatkan perkumpulan suporter Persija Jakarta ini. Apalagi, tawuran-tawuran tersebut seolah-olah terjadi secara terus menerus pasca Bonek (suporter Persebaya Surabaya) melakukan perjalanan “maut” dari Surabaya menuju Bandung, yang sempat menjadi headline beberapa media massa. Entah benar atau tidak, ini hanya pikiran nakal saya saja, jangan-jangan suporter Persija iri dengan aksi Bonek yang lebih “hebat” dan militan, makanya mereka secara kontinyu melakukan aksi blow-up diri sendiri, dengan berkelahi di kota sendiri, dan dengan teman sendiri juga.

Saya sendiri sudah lelah mendengar permusuhan antar suporter di Indonesia. Meskipun kadang-kadang saya “kagum” melihat ulah mereka. Ketika saya melihat berita di televisi tentang perjalanan maut Bonek dari Surabaya menuju Bandung, jujur saya merinding. Apalagi ketika mereka dipaksa turun oleh aparat dari atas kereta, dan mereka malah menyanyikan yel-yel, itu adalah bagian paling (saya gak tau kata apa yang tepat untuk mengungkapkan kejadian tersebut). Hal tersebut seolah membawa memori saya ketika berada ditengah-tengah demonstran yang berada diujung bentrokan dengan aparat. Ramai dan begitu antusias, bercampur dengan semangat dan pengorbanan, bercampur juga dengan hasrat yang paling tinggi, yakni kebebasan. Pernah satu kali saya mencoba mencari video tentang aksi suporter beberapa tim di Indonesia lewat youtube.com, namun perhatian saya malah tertuju pada komentar-komentar yang hadir disana. Saling hina dan merendahkan, bahkan cenderung provokatif.

Jago Kandang

Istilah tersebut sangat erat dengan Jakmania. Semua musuh Jakmania sangat sepakat dengan hal tersebut. Saya pun sepakat. Dahulu kala, ketika saya masih SMP, saya adalah simpatisan Jakmania wilayah Pondok Gede. Waktu itu saya dikabari oleh kawan saya bahwa Persija akan melawat ke Bandung, dan Jakmania akan ikut dengan kekuatan 1000 pasukan. Saya kemudian bertanya, apakah Bung Ferry juga ikut, karena waktu itu dia adalah ketua Jakmania. Logika saya waktu itu, kalo Bung Ferry gak ikut, ngapain saya ikutan, orang ketuanya aja gak nonton. Dengan berkelakar, teman saya menjawab jangankan Bung Ferry, Haji Bodong aja ngikut kok. Entah kenapa saya ngikut aja waktu itu, dan saya naik Primajasa dari Rambutan bersama delapan teman saya. Saya cuma bawa uang 50.000, buat ongkos pulang balik 30.000 sisanya buat jajan. Selama perjalanan, saya sangat cemas dan takut, namun teman saya menenangkan saya, bahwa ketika sampai terminal Dago nanti, sudah ada banyak The Jak yang nunggu. Namun, setibanya di Dago (saya dan delapan teman saya masih ada didalam bis) bukannya atribut orange-orange yang menunggu, melainkan biru-biru. Secepat kilat, kami berganti kostum dengan kaos kutang! dan enggan turun dari bis. Di luar sana hanya berisi skinhead-skinhead yang lapar warna orange. Yasalam!

Singkat cerita, akhirnya saya menjadi miskin di Bandung, kenapa saya jadi miskin, saya enggan menceritakannya, namun yang membekas sampai sekarang adalah nonsense Jakmania berani keluar kandang selain GBK-Lebakbulus PP. Paling pol Tangerang dan Karawang. Mereka cuma berani nonton Persija di Jakarta doang. Image tersebut semakin menguat, dengan berita-berita media belakangan ini. Jakmania rusuh di kota sendiri, Jakmania Manggarai tawuran dengan Jakmania Tanah Abang, Jakmania tawuran dengan Bonek di Jakarta. Bagus kayak gitu? Kalo mau cari musuh ya diluar sana, jangan kota sendiri diacak-acak.

Sudah saatnya suporter Indonesia berbenah diri. Fanatik ya fanatik, tapi jangan sok asik. Banyak pihak yang dirugikan, dan yang paling penting merugikan klub sendiri. Bukan begitu?

Sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud apa-apa, selain muncul dari kegelisahan saya sendiri terhadap fenomena sepakbola di tanah air. No offense, please! :beer: