Skip to content

benisatryo

next issue : cold war!

Category Archives: paperwork

Sebagai sebuah aktivitas berkesenian, puisi memiliki sebuah proses kreatif dibaliknya. Selain sebagai sebuah aktivitas berkesenian, puisi juga merupakan sebuah aktivitas menulis, atau dalam bahasa saya akan saya istilahkan sebagai aktivitas pembahasaan. Puisi memiliki muatan-muatan bahasa, ada kata, ada frasa, ada kalimat, ada tujuan berkomunikasi, dan adanya sebuah ekspresi. Setiap puisi tidak serta merta hadir begitu saja tanpa adanya sebuah proses panjang. Proses tersebut yang nantinya akan membedakan puisi dengan karya tulis lainnya, yang juga merupakan aktivitas pembahasaan, seperti cerpen, novel, curahan hati, bahkan karya-karya ilmiah macam skripsi, essay, jurnal, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana sebuah puisi itu bisa muncul dalam sebuah tulisan, dan apa yang membuat dia berdiri sebuah karya bernama puisi, bukan karya tulis lainnya? Menurut saya ini teorinya J

Menurut saya, sebuah puisi hadir akibat dari harapan si penulis tentang puisi itu sendiri. Puisi bergentayangan dalam bentuk ide, dan masih tercerai berai dalam bentuk kata-kata. Ketika ada sebuah tragedi/peristiwa/fenomena, barulah si penulis mengeluarkan puisi tersebut, kata demi kata dari dalam dunia idenya. Apa yang nantinya membedakan kata-kata yang ingin dipakai dalam puisi itu menjadi sebuah kata-kata puitis, adalah harapan. Apabila kita berharap menulis puisi, tentu kita akan memilih dan menyeleksi kata apa yang ingin kita pakai, dan kata mana yang tidak ingin kita pakai. Begitupun ketika kita ingin menulis sebuah karya tulis lain, dan harapan awal menentukan bentuk karya tulis kita. Sederhananya, apabila awalnya kita berharap menulis essay, ditulis dengan gaya puitis pun hasil akhirnya tetap essay. Gaya puitis itu bagaimana ya?? Mmm, piye yo, saya juga bingung. Gini aja deh, liat buku Bahasa Indonesia aja, nggak tau kelas berapa, yang jelas disitu diajarkan bentuk-bentuk yang membangun sebuah kalimat supaya bisa dibilang sebuah puisi. Misal, ada rima a-b-a-b, a-a-a-a, a-a-b-b, a-b-c-d, dan lain sebagainya.

Kemudian, setelah harapan menulis puisi itu muncul, si penulis kemudian mencari ide untuk puisinya. Ide ini menentukan tentang hal apa yang ingin dia tulis dalam bentuk puisi. Apabila ide tersebut tak kunjung hadir, harapan si penulis untuk menulis puisi pun bisa menjadi ide. Misalnya saja puisi sebagai berikut.

Aku ingin menulis puisi, entah darimana asalnya. Aku kehabisan akal untuk menangkapnya. Entah dia terbuat dari hal macam apa, entah daun kering, tanah menggumpal, atau hanya berbentuk cahaya yang genit menembus dinding kamarku. Aku bingung, harus mulai darimana.Puisi adalah kebingungan itu sendiri.

Puisi sederhana tersebut menggambarkan bahwa ide yang didapat dalam menulis puisi berasal dari harapan tentang menulis puisi itu sendiri. Aku ingin menulis puisi, entah darimana asalnya. Aku kehabisan akal untuk menangkapnya, menggambarkan bahwa si penulis tidak punya ide untuk dibahas dalam puisinya, dan ide tersebut diambil dari harapannya untuk menulis puisi, tentang kebingungan menulis puisi itu sendiri. Entah dia terbuat dari hal macam apa, entah daun kering, tanah menggumpal, atau hanya berbentuk cahaya yang genit menembus dinding kamarku, merupakan sebuah pengalaman atau hal-hal yang ada disekitar si penulis.

Puisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman bahasa si penulis puisi itu sendiri. Sebagai contoh puisi diatas tadi, penulis satu dengan penulis lain memiliki pengalaman bahasa sendiri-sendiri. Pengalaman bahasa bisa muncul dari buku apa yang dia baca, hal-hal apa yang ia senangi, dan orang macam apa dia. Hal tersebut menentukan bentuk puisi yang ditulis. Saya akan mencontohkan sebuah puisi lagi, masih menggunakan puisi yang sama, hanya saja sedikit dirubah.

Tak ada puisi hari ini. Hanya huruf p-u-i-s-i yang berserakan diatas meja.Yang kubaca TAHI.

Puisi tersebut sama saja dengan puisi sebelumnya, hanya saja beda ekspresinya. Ini yang saya maksud dengan pengalaman bahasa menentukan sebuah puisi itu seperti apa.

Ketika ketiga hal tersebut (harapan—ide—pengalaman bahasa) dirangkai menjadi sebuah rantai, maka yang harus segera dilakukan adalah menulis. Pengalaman bahasa masih berbentuk konsep-konsep di alam ide si penulis puisi. Artinya, setiap penulis puisi mempunyai konsep-konsep sendiri yang selalu ada didalam kepalanya, yang bisa saja dia katakan/tuliskan setiap saat. Ketika pengalaman bahasa tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, barulah puisi itu muncul dan bisa dibaca oleh setiap orang.

Ada sebuah garis putus yang menghubungkan antara harapan si penulis terhadap puisi dengan aktivitasnya menulis puisi itu. Garis tersebut menggambarkan bahwa ada sebuah korelasi antar keduanya. Aktivitas menulis puisi tersebut adalah sebuah kristalisasi dari harapan-harapannya tentang puisi itu sendiri. Ketika aktivitas menulis berhenti, maka terciptalah sebuah puisi yang merupakan ekses dari rangkaian semua itu.

Saya mencoba membuat ilustrasi untuk menjelaskan apa yang saya tulis panjang lebar ini.

Sebagai sebuah bentuk kesenian, puisi merupakan suatu media ekspresi. Ketika si penulis puisi membuat sebuah puisi, tentu ada hal yang ingin dia sampaikan, entah secara gamblang atau sembunyi-sembunyi, tergantung si penulis puisi itu sendiri. Tapi, sampai tidaknya ekspresi si penulis puisi kepada pembaca, menurut saya puisi yang dihasilkan sudah merupakan ekspresi itu sendiri.

*puisi-puisi yang digunakan sebagai contoh, merupakan puisi saya sendiri, yang ditulis secara waton 🙂

Tags:

Experience is the best teacher. Itulah sebuah kutipan yang saya temukan di bagian bawah lembaran buku tulis pas jaman SD. Abang saya pun sering mengirimi saya pesan singkat, ketika saya tengah menghadapi ujian akhir semester. Bunyinya begini, belajar adalah sebagian dari iman. Ya, kita memang selalu dituntut untuk belajar dan terus belajar. Tentu saja tidak hanya dalam bidang akademis, namun seluruh aspek kehidupan. Untuk apa belajar? yang pasti supaya kita lebih cerdik, cerdas, pintar, dan bijak.

Kehidupan itu gudangnya kesalahan. Bahkan dalam bercandaan teman-teman sekampung, hidup adalah sebuah kesalahan. Karena kehidupan itu gudangnya kesalahan, ya kita hidup untuk membenarkan kesalahan-kesalahan tersebut. Membenarkan dalam arti memperbaiki, bisa juga berarti membenarkan yang salah itu. Apa yang membuat kehidupan itu adalah gudang kesalahan, adalah banyaknya pilihan yang menyertai kehidupan tersebut. Jadi, siapa sebenarnya yang patut disalahkan, kehidupan yang menawarkan banyak pilihan atau manusia yang memiliki otoritas untuk memilih pilihan-pilihan tersebut?

Salah dan Benar

Apa itu salah dan apa itu benar? Apa yang membuat sesuatu itu menjadi salah dan menjadi benar? Apabila kita membahas “salah dan benar” tersebut panjang urusan, karena bisa menyangkut nilai yang sifatnya subyektif. Kalok mau obyektif, ya pake logika salah dan benar. Sesuatu dibilang salah apabila terdapat ketidaksesuaian dengan apa yang telah disepakati. Misal, saya memainkan sebuah kunci gitar G, namun posisi jari saya memainkan kunci A, tentu itu sebuah kesalahan. Misal, saya menghitung 1+1 = 428, padahal hasilnya adalah 2, tentu itu sebuah kesalahan. Apa yang membuat dua hal yang saya lakukan tersebut dibilang sebuah kesalahan, ya tanyakan saja sama manusia-manusia yang menyepakati kenapa kunci G bentuknya begitu, dan kenapa 1+1 = 2. Kesalahan akan lebih mudah ditemukan dari sesuatu yang bersifat pasti dan baku. Apakah hidup dan kehidupan merupakan sesuatu yang pasti dan baku? Apakah kehidupan merupakan sesuatu yang telah disepakati? Apabila dalam kehidupan kita melakukan “x” maka hasilnya sudah pasti “y”? Apakah kehidupan tidak bisa terbuka oleh segala macam kemungkinan-kemungkinan? Kemungkinan-kemungkinan yang bisa membiaskan antara salah dan benar itu tadi.

Sesuatu yang benar muncul dari sesuatu yang salah, begitupun sebaliknya. Kebenaran duduk diatas puing-puing kesalahan, dan kesalahan menyangga tiang-tiang kebenaran. Sesuatu yang benar pasti hadir dari sesuatu yang salah, tidak ada “benar” yang berdiri begitu saja tanpa kaki “salah”. Salah adalah ibu dan benar adalah anak. Benar adalah ayah dan salah adalah anak. Tidak ada “salah” tanpa kebenaran, dan tidak ada “benar” tanpa kesalahan. (sukurin, mumet bacanya :ngacir:______)

Namun, sesuatu yang benar apabila dilakukan dengan niat yang salah, hasilnya akan salah, dan sesuatu yang salah apabila dilandasi dengan niat yang benar, hasilnya bisa benar. Misal, saya terpaksa menerima seorang pencuri untuk bersembunyi di rumah saya. Benarnya adalah supaya pencuri itu tidak mati dihajar warga kampung dan niat saya melindungi pencuri itu. Niat saya salah, karena yang saya lindungi adalah pencuri, dan bisa jadi saya ikut-ikutan dihajar warga kampung. Misalnya lagi, seorang perempuan yang terpaksa menerima lamaran seorang bangsawan agar bangsawan tersebut bisa membebaskan kekasihnya dari hukuman gantung. Benarnya adalah supaya kekasihnya tersebut tidak mati di tiang gantungan. Namun, niat perempuan itu salah karena membohongi hati nuraninya dalam mencintai seorang pria, bisa jadi dia tidak hidup bahagia bersama bangsawan tersebut. Tidak bahagia berarti sebuah kesalahan, bukan. Sebuah kesalahan, apabila dijalankan dengan niat yang benar, hasilnya pasti benar. Benar dalam kesalahan itu sendiri. Mencuri yang benar, memaki yang  benar, memperkosa yang benar, korupsi yang benar, berselingkuh yang benar, menyakiti yang benar, dan yang benar-benar lainnya.

Belajar Dari Kesalahan

Menentukan niat yang benar sangat mudah, yang sulit adalah menentukan perbuatan yang benar. Perbuatan bukan matematika, bukan sesuatu yang pasti, dan sifatnya sangat lentur. Apabila berbuat begini belum tentu hasilnya begono. Pilihan-pilihan dalam hidup yang menentukan perbuatan yang benar dan salah. Pilihan yang salah, namun dilakukan dengan benar bisa jadi hasilnya adalah benar. Pilihan yang benar, namun dilakukan dengan salah, pasti hasilnya salah. Bagaimana agar pilihan dan perbuatan kita sama-sama benar, ya tanya sama Tuhan.

Untuk menentukan pilihan dan perbuatan supaya benar kedua-duanya dengan cara manusia adalah belajar dari kesalahan itu. Kok kalok saya pelit kudi saya dijauhi teman-teman ya, dijauhi mungkin tidak, tapi kok mereka selalu menggunjingkan saya dibelakang. Bagaimana supaya mereka berhenti menggunjingkan saya dan saya tetap pelit kudi? Ya mending saya tidak berteman dengan mereka, dan saya mencari teman yang sama-sama pelit kudi seperti saya. Nah itu satu contoh belajar dari kesalahan, namun tidak memperbaiki kesalahan, namun membenarkan kesalahan itu sendiri. Pelit kudi adalah sebuah kesalahan.

Saya selingkuh. Dua-duanya menguntungkan buat saya. Yang satu terkenal minta ampun dan dapat menunjang eksistensi saya. Yang satu selalu punya waktu buat saya, meskipun sedikit bodoh, tapi saya sayang sama dia, karena setiap hari dia selalu ada buat saya. Saya mencintai dua-duanya. Namun, yang satu marah ketika tau saya berselingkuh dan yang satu tetap bodoh masih mau selingkuh sama saya. Bagaimana caranya supaya saya bisa dapat dua-duanya tanpa menyiksa diri saya sendiri. Saya juga merasa tersiksa karena harus berbagi peran ketika menjalankan hubungan ini, dan saya merasa berdosa karena membohongi mereka.

Selingkuh adalah sebuah kesalahan. Bagaimana belajar dari kesalahan berselingkuh itu? Memakai cara seperti si pelit tadi bisa juga, yakni tetap berselingkuh sampai mati. Namun, yang terjadi adalah bukan memperbaiki selingkuh itu sendiri namun membenarkan selingkuh demi kepentingan sendiri. Bahagia selamanya tanpa pernah kesepian.

Kehidupan selain gudangnya kesalahan, didalamnya juga terdapat gudangnya kepuasan yang tak terhingga. Kehidupan selalu memberikan tangannya atau apalah itu untuk mencapai kepuasan tingkat tinggi. Manusia yang ada didalam kehidupan yang penuh kesalahan ini juga tidak pernah ada kata “puas”. Mereka selalu ingin ini, ingin itu, mau ini, mau itu. Apa yang perlu diperbaiki adalah pastikan limit kepuasan kita masing-masing. Keinginan adalah sumber penderitaan.

Saya sudah puas bisa dapat pacar cantik (menurut saya) berkulit kuning, kurus, berambut kucai, sayang sama saya, mencintai saya (begitu katanya), dan saya tidak pernah ingin mencintai perempuan lain selain pacar saya. Suka dengan perempuan lain mungkin, tapi mencintai tetap dia. Dengan begitu saya bisa membatasi diri dari perselingkuhan, dan apabila nanti saya berselingkuh tentu saja saya sebagai lelaki akan bersikap fair, yakni dengan lugas, tegas, dan terpercaya, saya akan berterus terang kalok saya selingkuh dan membicarakan bagaimana hubungan ini selanjutnya. Tentu dengan alasan kenapa saya berselingkuh. Tapi, saya tipe lelaki yang setia kok, bodoh lagi :malu

Kesalahan-kesalahan yang ada dalam kehidupan manusia, tidak bisa dilepaskan dari rasa puas. Rasa puas tersebut yang membuat pilihan-pilihan dalam hidup menjadi rumit. Saking rumitnya, terkadang kita ingin memilih semua dan menjalani semua, meskipun kita sadar, itu nonsense. Ketika kita sadar bahwa rupanya pilihan itu salah, kita tidak perlu kembali untuk memilih pilihan yang lain. Pilihan salah, apabila diiringi dengan tindakan yang benar, maka bisa menjadi sesuatu yang benar.

Jadi, jangan takut salah, karena disitu kita bisa menjadi lebih cerdik (cerdas dan licik)

oOo

Tags: , ,

be a man

Saya melihat sebuah acara di televisi semacam reality show, atau apalah itu, yang membentuk beberapa orang banci menjadi seorang lelaki sejati. Sekumpulan banci tersebut diberi pelatihan-pelatihan yang membentuk mental dan perilaku mereka. Mereka diajarkan cara menembak, bertempur (merayap sambil memegang senjata), dan berbagai macam acara outdoor (seperti memanjat tali, melewati lumpur, berenang di laut,  push-up, dll). Lantas saya bertanya-tanya, melihat judul reality show tersebut, apakah banci-banci ini ingin diajak kembali menjadi lelaki, atau ditatar layaknya seorang prajurit yang siap mati di medan tempur. Sepertinya, acara tersebut ingin mengajarkan banci-banci tersebut cara-cara militer, karena pelatihan-pelatihan yang didapat adalah militer. Bahkan acara tersebut tampilannya juga militer, mulai dari seragam yang dipakai para banci, sampai kepada iklan acara tersebut. Kalo begini caranya, jelas menakutkan. Seorang banci saja sudah menakutkan, khususnya bagi saya, lalu bagaimana dengan banci yang militeris. Waduh..

Dari kegelisahan diatas, saya lantas merenung dan berpikir. Apakah dunia lelaki adalah identik dengan militer, sehingga para banci yang akan diajak kembali menjadi laki-laki diberikan pelatihan ala militer.

Laki-laki

Ayah saya pernah berkata “Laki-laki itu harus punya privasi”. Entah apa maksudnya, namun setelah beberapa waktu saya baru mengerti. Hal ini saya terapkan dalam tujuan saya menjalani sebuah hubungan, khususnya pacaran. Pernahkah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apa tujuan/motivasi kita memiliki/mencari seorang pacar atau istri pada kemudian hari. Ada yang hanya mencari kesenangan semata (hubungan seks, grepe-grepe, berciuman, dll.), ada yang hanya terobsesi saja, karena dia cantik maka saya harus pacaran dengannya, ada yang hanya menganggap adalah sebuah proses menjadi dewasa, karena saya sudah dewasa, maka saya harus punya pacar. Berbagai macam alasan tentunya, dan setiap orang berbeda-beda. Bagaimana dengan anda, apa tujuan anda mencari/memiliki/ seorang pacar?

Nah, kalok saya sih, pacaran ya untuk mendapatkan privasi tersebut, karena saya seorang laki-laki. Kalok belum punya pacar, maka saya belum memiliki privasi, dan kalok belum memiliki privasi maka saya bukan seorang lelaki. Mungkin, testimoni ayah saya tersebut berkaitan dengan kedewasaan. Seorang anak kecil tentu tidak dibolehkan untuk berbuat apa-apa sendiri, apalagi memiliki, karena masih butuh proses belajar bagaimana seharusnya menjaga barang yang kita punya, bertanggung jawab atas barang tersebut, dan mempertahankan barang tersebut. Apabila kita sudah memahami pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita miliki, maka kita berhak untuk memiliki barang tersebut, tanpa intervensi pihak lain. Itulah ruang privat, dimana ketika kita beranjak dewasa, kita harus memiliki ruang itu.

Kembali kepada masalah. Secara garis besar, apa yang membuat lelaki berbeda dengan perempuan adalah kemampuan untuk menggunakan rasio/logikanya dengan porsi lebih besar. Seorang perempuan tentu lebih mengedepankan perasaannya, ya itulah kodrat perempuan. Seperti kata Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil, sifat seorang perempuan itu lemah lembut yang alami, penuh misteri, egoisme naif, dll. (testimoni Nietzsche yang menurut saya provokatif adalah, bahwa satu-satunya cara untuk menguak misteri seorang perempuan adalah dengan menghamilinya). Saya sepakat, entah kenapa tiba-tiba saya merasa sepakat. Alasannya, ya tidak ada, pokoknya saya sepakat.

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, kenapa seorang perempuan itu berani mengoperasikan sebuah mesin (khususnya kendaraan). Perempuan itu kan gampang panik, dan cepat heboh. Saya sering melihat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan seorang perempuan, yang sebenarnya bisa dengan mudah dihindari. Mengoperasikan sebuah kendaraan itu murni menggunakan logika, apabila kita nge-gas segini, maka kecepatannya segini, apabila kita belokin setang ke kanan, maka beloknya ke kanan. Bagaimana caranya membelok gang, ya dengan melihat spion dan mengurangi perseneling ke gigi lebih rendah, supaya motor nggak ngeden dan tenaga yang dibutuhkan proporsional dengan kecepatan yang dihasilkan, jadi gak bikin macet jalanan. Bagaimana caranya menghadapi kondisi lalu lintas yang ramai dan cepat sekali, yakni dengan tidak panik, mampu menguasai badan motor, jangan sampai motor membawa kita, tetapi kita yang membawa motor. Kan begitu!

Nah, seorang lelaki tentunya memiliki porsi logika yang lebih besar dibandingkan perasaannya. Itulah yang menjadikan seorang lelaki seolah tegar, tenang, dan kuat apabila menghadapi sebuah masalah. Bukan menangis dan mengurung diri didalam kamar. Seorang lelaki juga sudah secara otomatis mempunyai kontrak “tanggung jawab” sejak dia dilahirkan.

Lelaki memang bermacam-macam bentuknya, bisa dilihat dari hobi yang dia senangi. Hal inilah yang biasanya menjadi sebuah generalisasi atas lelaki itu sendiri. Beberapa hobi yang dilakukan lelaki biasanya menyangkut hal-hal yang keras dan penuh tantangan. Namun, kita tidak boleh menafikan ada lelaki yang juga menggeuti hobi yang tidak menyangkut dengan hal tersebut. Otomotif, Outdoor, Sepakbola, adalah beberapa hobi yang sangat identik dengan gaya hidup lelaki. Seolah-olah lelaki ingin dibawa kepada sebuah konsep yang keras, tangguh, wibawa, bla bla bla.

Maskulin dan Militer Itu Beda

Dalam acara Be A Man, saya melihat seolah-olah pemahaman bagaimana cara supaya bisa menjadi lelaki sejati adalah dengan cara mendidiknya secara militer. Secara tidak langsung, ada sebuah usaha untuk menyamakan lelaki dengan militer. Militer itu beda dengan lelaki, dan beda pula tentunya dengan maskulinitas. Mungkin, sifat-sifat yang ada didalam militerisme itu (keras, disiplin, kuat, berwibawa) adalah salah satu ciri-ciri yang melambangkan maskulinitas, bukan berdiri sendiri sebagai pembeda dari maskulinitas. Mari saya bawa kepada sebuah analogi. Sebuah demonstrasi yang membakar ban dan merusak adalah salah satu bentuk dari anarkisme, bukan anarkisme itu sendiri. Misal, kita makan di atas meja dan melahapnya menggunakan jari-jari kaki adalah salah satu bentuk dari etika, bukan pengertian etika itu sendiri. Jadi, yang ingin saya tekankan disini adalah sangat tidak benar menggeneralisasi istilah maskulin dengan gaya militerisme.

Menjadi seorang lelaki tidak selamanya harus dibentuk lewat gaya militerisme. Lelaki itu kodrat, mau didandani apapun bentuknya, chasingnya, dia tetap lelaki. Mau bencong, banci, wadam, dia tetap lelaki, selama dia masih bisa menghamili seorang perempuan. Dia tetap pejantan. Dia tetap pria sejati, meskipun menyandang sifat-sifat perempuan yang lemah, yang cengeng.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa acara tersebut menggunakan banci-banci ekstrim untuk dididik menjadi seorang lelaki, bukannya seorang lelaki dengan kepribadian perempuan. Banci-banci tersebut saya pikir  menjadi perempuan karena tuntutan, dan hidupnya mungkin lebih keras dari seorang militeris, atau lelaki sekalipun. Kembali kepada ketakutan saya diatas, bagaimana jadinya bila ada banci namun berkepribadian militer?

oOo

Tags: , , , , , ,

Komedi adalah sebuah sejarah panjang. Menurut beberapa sumber, komedi sangat erat kaitannya dengan pertentangan kelas. Pada beberapa literasi, awal mula komedi ditandai dengan turunnnya Dyonisius dari langit karena dihukum oleh Zeus akibat sebuah kesalahannya. Di bumi, Dyonisius berperan penting terhadap keberhasilan masa panen, dan untuk merayakan keberhasilannya tersebut, Dyonisius melakukan pesta pora dan mabuk-mabukan semalam suntuk. Dari kisah tersebut mungkin bisa kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa komedi adalah sebuah pelarian atas realitas ke dalam realitas lain, dan disana ada sebuah rasa suka cita yang mutlak. Rasa tersebut, saking mutlaknya bisa jadi berputar secara ekstrim, menjadi sebuah kesedihan dan menciptakan sebuah satire. Hal ini mungkin yang menyebabkan saat kita sedang tertawa terbahak-bahak, bisa jadi kita langsung merasa sedih dan akhirnya menangis tersedu-sedu. Apakah anda pernah merasakan hal tersebut? Saya pernah.

Memang sedikit rumit untuk menelusuri sejarah komedi secara universal, bahkan mungkin diperlukan sebuah penelitian yang memakan waktu , tenaga, dan referensi. Mengingat, komedi adalah suatu hal yang eksklusif, maksudnya bentuk komedi (humor atau selera humor) suatu kelompok, bisa jadi berbeda dengan kelompok lain. Namun, kita tidak akan membahas hal tersebut, karena untuk membahas hal tersebut lebih baik saya letakkan sebagai bahan skripsi, ketimbang disini. Saya lebih tertarik untuk membahas mengenai dinamika OVJ dan Segerr Benerr sebagai sebuah ikon komedi masa kini di tanah air.

Komedi di tanah air saat ini cukup beragam. Parodi politik, lagu, drama situasi, dan banyak lagi model-model lain yang memiliki selera humor yang berbeda-beda pula. Ada yang menganggap sangat lucu, lucu saja, biasa saja, bahkan tidak lucu sama sekali. Misalnya, selera humor saya tidak begitu terpancing ketika melihat sebuah sitkom berjudul OB (Office Boy). Mungkin, untuk kalangan yang sangat akrab dan sering berinteraksi dengan OB akan lain menanggapinya. Bisa jadi mereka terhibur dan tergelak-gelak melihat sitkom tersebut. Namun, ketika membicarakan OVJ dan Segerr Benerr sepertinya selera humor masyarakat Indonesia mulai terlihat seragam, apabila kedua program tersebut mulai naik ratingnya, dengan indikasi begitu lama durasi iklan yang terselip saat program tersebut tayang di layar kaca.

Setelah sebelumnya gaya Tukul (menghina diri sendiri, gestur-gestur khas, merendahkan diri menaikkan mutu, dll) dalam membawakan acara talkshow Empat Mata mampu menghadirkan iklan-iklan yang begitu lama durasinya, saat ini giliran OVJ dan menyusul Segerr Benerr. OVJ mengkudeta gaya humor yang saat itu sedang klimaks, dan “menggantinya” dengan gaya mereka. Kekerasan/brutal/freak/ekstrim atau apalah (saya tidak bisa menemukan kata yang tepat) dijadikan sebuah metode untuk menyampaikan humor, dan memancing selera penontonnya. Di luar negeri gaya tersebut telah lama menjadi sebuah ikon komedi, dan yang saya tahu dan saya penggemar beratnya adalah trio The Three Stooges. Trio ini tidak pernah berbicara sepatah kata pun, hanya mengeluarkan gumaman-gumaman, seperti halnya Mr. Bean. Namun, OVJ menyampaikan dalam bentuk verbal, mereka melawak, mereka “menyiksa”, menghancurkan properti, dll. Entah kenapa, ketika ada subyek yang tersakiti penonton malah menganggap hal tersebut adalah lucu.

Saya pun demikian, mungkin suatu hari nanti saat saya melihat orang yang terpeleset di jalan, atau duduk dan kemudian kursinya ambrol, ada hasrat ingin tertawa sebelum muncul rasa iba. Lain halnya, ketika mungkin saya melihat ada orang disamber kereta diesel atau Mayasari Bhakti, terjun dari lantai 39, atau jatuh kemudian kepalanya pecah. Apabila saya ingin tertawa dan menganggap itu sebagai hal lucu, dalam hati saya akan berdo’a untuk diri saya sendiri, semoga Tuhan selalu menyertai orang-orang yang freak. Amien. Eh, kecuali kasus rokok yang meledak saat dihisap yang terjadi di Bekasi, sampai sekarang saya bingung, harus tertawa atau iba terhadap korbannya.

Selain kekerasan tadi, OVJ juga menerapkan konsep Posmodern dalam penyajian komedinya. Konsep tersebut diterapkan dalam penyampaian cerita dan tata artistiknya. Posmodern disini merujuk pada pengertian ketidakberaturan sebuah konsep itu sendiri, sangat bebas dan tidak kaku. Misal, pada sebuah episode yang menceritakan tentang sebuah zaman kerajaan atau purbakala, disana akan hadir sebuah benda-benda modern semacam telepon umum, mesin ATM, motor trail, dll. Benda-benda tersebut juga berfungsi sebagai sarana kekerasan tadi, yakni akan digunakan untuk melempar, memukul, dll. Selain itu, jalan cerita yang ngawur dan pemain yang bergerak sendiri-sendiri adalah sebuah trade mark dari OVJ. Seolah-olah penonton disajikan sebuah latihan sebelum pentas, yang banyak ditemukan kesalahan-kesalahan jalan cerita, karakter yang gak jelas, dll.

Selain OVJ, pesaing terdekatnya tentu saja Segerr Benerr. Model komedi mereka secara keseluruhan sama, hanya saja konsep Segerr Benerr adalah Lenong (Betawi) dan OVJ adalah Wayang (Jawa). Sebagaimana Lenong, Segerr Benerr selalu menghadirkan sebuah komunikasi dengan para penontonnya, yang beberapa adalah pemain, dan biasanya bentuk komunikasi tersebut adalah berbalas pantun. Segerr Benerr juga menerapkan metode ngawur dalam merangsang selera humor penontonnya. Misal, menyemburkan air ke wajah salah seorang pemain. Segerr Benerr juga mengaplikasikan penghancuran properti yang ada, seperti halnya OVJ. Namun, masih ada saja konsep komedi klasik (jaman dulu) yang masih diterapkan yakni selalu dihadirkan subyek penderita, di OVJ ada Azis Gagap sedangkan Segerr Benerr mempunyai Ohang.

Cerita-cerita yang dihadirkan biasanya tidak pernah orisinil, baik OVJ maupun Segerr Benerr, mereka memparodikan beberapa naskah atau film-film dari barat maupun negeri sendiri. Tentu saja dengan modifikasi yang ngawur tadi. Hampir terlewat, yakni adanya musik pengiring seperti OVJ dengan gamelannya dan menyanyikan lagu-lagu populer yang diaransemen, sedangkan Segerr Benerr lebih kepada mengganti lagu-lagu populer dengan lirik yang disesuaikan dengan jalan cerita yang tengah dimainkan.

Kesimpulannya, dewasa ini sebuah ketidakwajaran (ngawur) menjadi ikon komedi di tanah air. Ketidakwajaran juga salah satu yang termasuk dalam unsur-unsur humor, bukan? Misal, bentuk fisik (kuntet, gembrot, monyong, pongah (ompong tengah), dobleh, caplang, pesek, dan semua ke-ngawuran yang disebabkan oleh Tuhan YME, eh takdir ding) bisa saja dieksploitasi untuk merangsang tawa, seperti yang dilakukan oleh media saat ini. Parodi politik juga menggunakan ketidakwajaran dalam menyampaikan humornya, meski arahnya adalah untuk dijadikan sebuah refleksi, atau bahkan pelarian realitas itu sendiri (Republik BBM dan Democrazy, contohnya). Bangsa ini melahirkan banyak orang lucu, humoris, atau gokil abeeeeezz. Bukan hanya komedian, melainkan teman, tetangga, saudara, sahabat, selingkuhan, pacar, orang tua, guru, pak RT, demonstran (dengan membawa kerbau bertuliskan sibaya menurut saya sangat amat lucu sekali, terlebih SBY menanggapinya). Namun, bukan berarti bangsa ini menjadi bangsa yang ngawur, dan kita sebagai warga negara hanya menikmatinya sambil tertawa terbahak-bahak, hingga berguling-guling.

Atau memang kondisinya demikian? Ups, entahlah. Semoga kita bisa tetap sejahtera dan bahagia dengan tertawa. Amien.

oOo

span.jajahWrapper { font-size:1em; color:#B11196; text-decoration:underline; } a.jajahLink { color:#000000; text-decoration:none; } span.jajahInLink:hover { background-color:#B11196; }

Do you speak English fluently? do you proud of it? I am not. Because, not only my TOEFL score was decreased from 560 to 470 and I am not speak English fluently, but also English makes me separating from my own country. For example, I have to write the abstraction in my skripsi (such a thesis) in English, but actually I am an Indonesian. Once in a day, my friend give me a mocking smile when he was heard me speaking, in English. Why? It is just because my false pronounciation. Then I told him, sarcastically, if I have a friend from DC who learning Indonesian. At the first time we meet, he was very hard to spell “komputer”, in English “komputer” is “computer” and pronounce with “kompyute”. Many times Dadang, my friend from DC, pronouncing “komputer” with “kompyute” and it is clearly false with Indonesian pronounciation. Maybe you can tolerate Dadang, because he was not Indonesian people, he’s just stranger who learning our language. But, can you tolerate me or another Indonesian people who getting hard to pronouncing English words, clearly and fluently. I guarantee, absolutely can not. Why? Because Indonesian language is “under” the English. Just like “lo gue” language which is a superior language than another language in Indonesia (such as Javanesse, Sundanesse, Madura, Batak, etc)

Melelahkan juga menulis menggunakan bahasa “Inggrais”. Selain harus berpikir apa yang harus kita tulis, kita pun harus memilah-milah kata apa yang tepat untuk menunjukan maksud dalam otak kita (yang pasti berbahasa Indonesia) dan kemudian mentransfernya ke dalam bahasa “Inggrais”. Dua kali kerja bukan? Sebal. Toh, tulisan ini tidak saya tujukan kepada orang-orang “Inggrais”, namun kepada kawan-kawan pembaca dari Indonesia, yang gandrung terhadap bahasa “Inggrais”. Apabila kebetulan ada orang “Inggrais” atau orang asing yang mau membaca tulisan ini, ya silahkan terjemahkan sendiri. Buat apa saya menjadi “pelacur” bahasa, bersusah payah menerjemahkan tulisan ini, sedangkan mereka yang butuh untuk tahu apa konteks tulisan ini.

Butuh. Sebuah kata yang mengandung konotasi keharusan akan sesuatu, dan harus terpenuhi. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas kebutuhan dalam konteks bahasa, yakni bahasa “Inggrais”. Apakah yang dirasakan oleh orang-orang sedunia ini adalah sebuah kebutuhan akan bahasa “Inggrais” atau karena keterpaksaan terhadapnya. Terserah pendapat saudara []

Pengantar

Judul dan paragraf pertama sengaja dibuat dengan bahasa Inggris, tanpa tendensi apapun, melainkan proses pembelajaran saya yang “terpaksa” terhadap bahasa Inggris. Saya belum pernah menulis artikel apapun dalam bahasa Inggris, dan akhirnya saya memilih untuk tidak akan pernah menulis artikel dalam bahasa Inggris, jika saya tidak terlalu membutuhkannya. Halaman ini juga bukan halaman terjemahan dari paragraf pertama yang notabene menggunakan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris : Kebutuhan Di Dalam Sebuah Keterpaksaan

Di jaman modern dan era globalisasi saat ini, seseorang yang dikatakan buta huruf bukan lagi orang yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan orang yang tidak paham pengoperasian komputer dan tidak bisa berbahasa Inggris. Kira-kira begitulah anekdot yang terlontar dari seorang pembicara di sebuah seminar yang membahas masalah teknologi informasi. Sungguh ironis memang, ketika kenapa kita harus bisa berbahasa Inggris sedangkan kita bukan orang Inggris, misalnya.

Bukan bermaksud menjadi seorang yang fanatik terhadap Nasionalisme, namun bukankah menjadi lucu ketika bahasa Inggris seolah-olah menjadi bahasa yang begitu superior dibanding bahasa negara-negara lain. Bukankah posisi bahasa Inggris adalah sama dan sejajar dengan bahasa lain yang ada ketika kita berbicara bahasa adalah sebuah produk budaya. Lalu, kenapa ada seorang seniman yang membuat penjelasan karya-karyanya lewat bahasa Inggris. Bukankah ketika sebuah karya yang dibuat oleh seorang seniman (contoh Indonesia), dijelaskan menggunakan bahasa asing secara tidak langsung akan melunturkan keaslian karya itu sendiri. Karya tersebut dibuat di sebuah wilayah (contoh Indonesia) dan tentunya dipengaruhi oleh kultur yang ada. Kultur tersebut yang nantinya akan menjadi identitas karya itu sendiri, dan ketika itu dipublikasikan atau dijabarkan dengan bahasa asing, maka otomatis karya tersebut sudah tidak otentik lagi. Kenapa? Karena ada kultur asing yang ikut berperan dalam pembentukan identitas karya tersebut. Lain halnya ketika karya itu dibiarkan saja utuh tanpa ada penjelasan apapun dalam bahasa asing, melainkan bahasa lokal, maka karya tersebut menjadi lebih otentik. Apabila ada orang asing yang ingin mengenal karya tersebut, maka orang tersebut harus belajar bahasa lokal, yang digunakan untuk menjelaskan karya tersebut. Masuk akal bukan?

Lantas bagaimana seniman tersebut bisa maju, ketika dia mempersempit ruangnya sendiri dengan tidak mau menjelaskan karyanya tersebut dalam bahasa yang lebih universal. Coba kita lihat Sigur Ros, sebuah band yang lirik lagunya menggunakan bahasa Islandia, atau komik-komik berbahasa Jepang yang akhirnya tetap bisa mendunia. Kedua contoh tersebut saya rasa bisa menjadi sebuah pembenaran atas perlu tidaknya kita mempublikasikan karya kita atau apapun kedalam bahasa yang lebih universal. Sigur Ros tetap mendunia, bahkan lirik-liriknya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh orang-orang yang membutuhkannya. Komik-komik Jepang tetap terkenal meskipun ditulis dengan bahasa Jepang. Artinya, bahasa universal (bahasa Inggris) bukan merupakan suatu kebutuhan mutlak agar karya kita terkenal di dunia. Ada bahasa-bahasa informal yang bisa menjelaskan karya-karya tersebut, dan yang paling penting kekuatan karakter sebuah karya yang akhirnya bisa membuat orang asing ingin menggali lebih dalam, sekalipun karya tersebut tidak ditulis dalam bahasa Inggris.

Karakter Sebuah Budaya

Sebenarnya bahasa manapun bisa menjadi bahasa yang universal, bahasa yang semua orang di dunia ini mengerti. Caranya adalah dengan membangun sebuah karakter yang kuat dalam konteks nasional. Sebuah negara akan maju pesat apabila dimulai dari pembangunan karakter yang kuat, terutama dalam hal budaya. Budaya adalah suatu produk yang paling otentik yang dimiliki oleh suatu bangsa. Apabila karakter budaya suatu bangsa sudah kuat maka budaya bangsa tersebut akan menarik perhatian dunia. Apabila perhatian dunia sudah tertuju pada budaya tersebut, maka mereka akan mempelajarinya. Untuk mempelajari sebuah budaya sudah tentu harus paham betul bahasa yang digunakan oleh budaya itu sendiri. Bahasa merupakan akses penting dalam mempelajari sebuah budaya, entah itu wujudnya dalam bentuk formal maupun informal. Pada kasus bahasa Inggris, bahasa ini menjadi universal lebih kepada unsur Kolonialisme yang bersemayam didalamnya. Klaim Anglo Saxon sebagai bahasa yang paling tua digunakan sebagai pembenaran atas penjajahan bahasa-bahasa lain, dan akhirnya berujung pada penjajahan budaya itu sendiri. Sebenarnya bahasa kita pun bisa menjadi universal, dengan catatan harus menguatkan karakter budaya kita sendiri. Setuju?

Pembangunan Karakter Sebuah Bangsa

Pembangunan karakter sebuah bangsa harus dimulai dari manusia-manusia yang  ada pada bangsa tersebut. Ketika manusia-manusia tersebut sudah di-upgrade, maka akan muncul sebuah budaya yang kuat. Budaya diciptakan oleh manusia, dan budaya sangat tergantung terhadap perilaku manusia tersebut. Manusia bobrok tentu akan menghasilkan budaya yang bobrok pula, begitupun sebaliknya. Supaya lebih menarik, mari kita bicarakan mengenai bangsa kita tercinta ini. Mengapa bangsa yang besar ini seolah menjadi bangsa yang kerdil dan inferior. Mengapa bangsa yang kaya akan budaya ini tidak bisa maju dan selalu saja kalah dengan bangsa-bangsa kecil disekitarnya.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya. Saking beragamnya budaya yang bersemayam di Indonesia, kita bahkan kesulitan untuk menentukan yang mana yang dikatakan budaya Indonesia, atau budaya nasional. Kawan Pram pernah berkata bahwa Indonesia sama sekali tidak memiliki budaya, yang benar adalah budaya yang ada didalam Indonesia. Misalnya, budaya Jawa, Sunda, Batak, Toraja, dll. Sehingga salah apabila ketika kita melihat suatu budaya yang ada di Indonesia, lantas kita menggeneralisir bahwa budaya tersebut adalah budaya Indonesia. Seharusnya kelebihan budaya ini bisa membawa bangsa ini menjadi lebih bekarakter. Pemerintah saat ini sudah dibutakan dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi, mereka lalai untuk membangun sektor-sektor yang lebih vital ketimbang sektor ekonomi yaitu budaya. Bayangkan, apabila pemerintah berhasil membangun sektor ekonomi, namun lalai membangun sektor budaya, yang terjadi sudah pasti negara kaya ini akan digerogoti oleh moral yang busuk. Negara kaya yang memiliki budaya yang busuk maka tetap saja menjadi negara miskin. Kenapa? Tentu saja karena korupsi dkk.

Bangsa ini masih dipenuhi oleh manusia-manusia yang bobrok. Mochtar Lubis dalam artikelnya yang ditulis di Forum Pranata Humas LIPI menyebutkan secara jelas, manusia-manusia yang menghambat laju perkembangan bangsa Indonesia. Manusia klenik, arogan, kurang integritas, penggerombol, kurang berani mengambil resiko, pengecut, pemarah, etos kerja rendah, adalah beberapa dari banyak contoh yang disebutkan olehnya. Ketika bangsa ini masih penuh sesak oleh manusia-manusia macam demikian, bagaimana bangsa ini bisa berkarakter. Bagaimana bahasa Indonesia bisa menjadi universal.

Kesimpulan

Bahasa Inggris dalam perkembangannya dewasa ini, khususnya di Indonesia, telah mencapai puncak. Menjamurnya tes TOEFL/TOEIC sebagai syarat utama bekerja dan masuk perguruan tinggi adalah sebuah indikator. Bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa universal sudah menjadi semacam kebutuhan primer. Namun saya melihat kasus ini, bahasa Inggris sebenarnya bukan sebuah kebutuhan. Kebutuhan sangat lekat dengan pengertian keharusan untuk segera dipenuhi, dan merupakan dorongan yang secara sadar harus dilakukan. Kebutuhan akan bahasa Inggris sebenarnya semu, dan pada kenyataannya, seseorang bisa bahasa Inggris karena “keterpaksaan” bukan kebutuhan. Terpaksa artinya bukan merupakan sebuah kesadaran yang berasal dari dalam diri seseorang, melainkan pengaruh eksternal dari orang tersebut. Mau tidak mau saya harus bisa berbahasa Inggris, demi menunjang pergaulan internasional karena bahasa tersebut adalah bahasa universal. Mau tidak mau saya harus bisa bahasa Inggris, karena saya mau pameran di luar negeri dan supaya bisa mengenalkan karya saya, saya harus lancar berbicara bahasa ini.

Lain halnya ketika andaikata bahasa Inggris tersebut tidak menjadi bahasa yang universal, dan malah bahasa Tagalog misalnya. Sudah tentu banyak orang yang ingin belajar bahasa Tagalog tersebut. Memang analogi tersebut menyalahi aturan-aturan argumentasi yang saya pelajari pada kuliah Logika I, namun minimal analogi tersebut bisa membuat kita berpikir lebih mendalam. Bahasa apapun bisa menjadi bahasa yang universal. Tiongkok sudah hampir mencapai taraf tersebut, ketika kita sama-sama tahu bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa kedua setelah bahasa Inggris. Apabila bahasa kita tidak bisa menjadi bahasa yang universal, minimal bahasa kita mempunyai posisi tawar yang tinggi pada tingkat internasional. Jangan malah melacurkan diri pada bahasa Inggris. Nidji, Slank, Dewa 19 adalah pelacur-pelacur bahasa Inggris yang menjual lagu-lagunya dalam format English version supaya bisa laku di luar negri. Kembali pada analogi pertama tadi, bisa jadi mereka menjual lagu-lagu mereka dalam Tagalog version supaya bisa terkenal. Sampah!

Kita harus percaya pada karya-karya (yang merupakan produk dari budaya) kita untuk bisa bersaing di luar negri tanpa bahasa Inggris. Tentu saja dengan tidak asal-asalan percaya diri, namun harus melihat kualitas karya tersebut. Dengan begitu orang asing bisa menjadi tertarik untuk mempelajari budaya kita. Apabila sudah tertarik, otomatis orang asing tersebut mau tidak mau harus mempelajari bahasa kita.

Tags:

Apa yang bisa anda deskripsikan ketika mendengar istilah “alay”? Beberapa sumber yang saya peroleh dari google berikut (keyword: alay) mungkin bisa membantu anda, jika anda baru pertama kali mendengar istilah ini. Contoh :

  • seseorang yang gemar mengganti huruf/karakter ketika sedang sms’an dengan seseorang lainnya (iya –> ea, lucu–> lutchu, gue–> w, elo–> l, makan–> mumphs, dsb)
  • sebuah singkatan “anak layangan”, yakni seseorang yang digambarkan berkulit hitam matahari dan rambut terbakar matahari)
  • identik dengan musik emo dalam hal berdandan, meski (katanya) gak tau apa-apa tentang emo.
  • norak dan berlebihan (nge-mix baju gak pake perhitungan –tafsiran saya, bergaya nggak pas dan tidak memperhatikan warna kulit, proporsi tubuh, dan bentuk wajah dalam hal berpakaian– baju ijo, celana kotak-kotak berwarna mencolok, kacamata biru dsb)
  • menggoda perempuan di mall (lelaki) sok risih padahal suka digoda (perempuan)
  • “mustang” baca: masteng, artinya mas-mas tengik (entah apa konotasinya, kurang jelas)
  • seseorang yang hobinya balap liar, tawuran sekolah ataupun antar kampung

Contoh wujud alay :

boleh dibilang alay "versi Beni & Mice"

contoh teks alay

wujud alay versi internet :bingung

masuk alay gak?

Beberapa ciri tersebut merupakan (menurut saya) adalah ciri-ciri umum, dan berikut adalah ciri-ciri yang lebih khusus, yakni dalam hal Friendster dan Facebook. Contoh :

  • friendster penuh glitter
  • nama friendster/facebook dibubuhi semacam gelar, misalnya : tiKa cHute, ayOe lutcHu, dEsii cHantiQue, dsb
  • friendster dan facebook sebagai sarana mencari perempuan2 cantik atau lelaki cool dan macho. misal : tHanKs vo aPp, bTw kuLz dmN neEch? tHanKs udd add, dsb.
  • penulisan testimoni dan atau wall comment menggunakan huruf gede kecil dan sedikit modifikasi penulisan.
  • Kata singkatan selalu diakhiri huruf z/s. Misalnya : nama Taltira menjadi talz, atau nama Niken menjadi qenz.

Sebenarnya masih banyak sekali ciri-ciri yang disebutkan, namun beberapa saya sortir karena ada yang kurang masuk akal dan cenderung merendahkan. Padahal, belum tentu orang yang membuat blog, grup, atau semacamnya yang menjabarkan alay tersebut, terhindar dari sifat atau perilaku yang merujuk pada alay tersebut (sebagaimana yang telah ditulisnya secara detail). Untuk itu, saya mencoba mendeskripsikan pengertian alay sebagai sebuah fenomena, reaksi, gejala dari (katakanlah) urbanisasi dan atau modernisasi, mungkin juga globalisasi. Bukan sebagai suatu diskriminasi atau sebagai bahan olok-olok atau merendahkan.

Alay : Sebuah Transformasi Gaya Hidup dan Pencarian Identitas

Merujuk pada ciri-ciri yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, secara implisit alay mengarah pada sebuah kesimpulan umum, yakni kaum urban. Kaum urban adalah anak kandung dari urbanisasi. Urbanisasi adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, bukan perpindahan penduduk dari desa ke kota.[1] Perpindahan penduduk dari desa ke kota hanya merupakan salah satu penyebab proses urbanisasi, disamping pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perubahan status suatu wilayah, perluasan wilayah, dll.

Alay, hanya salah satu dari produk-produk urbanisasi seperti halnya tingkat kriminalitas yang tinggi, kemacetan, munculnya slump area, dan ini disebabkan oleh daya tarik/pesona kota yang begitu menyilaukan. Kemudahan akses transportasi, pendidikan, informasi, kesehatan, lapangan kerja adalah beberapa faktor yang menjadikan orang-orang desa ingin tinggal di kota. Maka, orang-orang desa ini ketika menginjakkan kakinya di kota, serta merta mereka mengubah gaya hidupnya. Salah satunya adalah pola konsumsi. Pola konsumsi merupakan penanda identitas (Douglas & Isherwood) yang didasari oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi (Goffman, 1951).[2] Pola konsumsi orang yang tinggal di desa tentu jauh berbeda dengan orang yang tinggal di kota. Oleh karenanya, orang-orang ini mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya, apabila ingin dianggap “ada”.

Ada sesuatu yang begeser, ketika konsumsi dikaitkan dengan gaya hidup, yakni hasrat mengkonsumsi suatu barang/jasa dianggap bukan sebagai pelengkap, namun sudah masuk sebagai “penanda” kehadiran seseorang. Misalnya, model handhpone yang selalu saja berubah, meskipun fungsinya tetap sama, akan terus mendapatkan konsumen, karena dengan begitu handpone demikian ini dianggap mewakili jaman. Begitupun yang mewakili proses pencitraan seorang alay, ketika proses konsumsi menjadi sesuatu yang tidak berguna, dan hanya dianggap sebagai media untuk memunculkan eksisitensinya. Alay, secara sadar atau tidak sadar,  berusaha menciptakan identitas baru supaya mereka bisa diakui sebagai bagian dari sebuah kota, minimal menanggalkan identitas lamanya sebagai orang kampung. Ada sebuah konsekuensi yang mau tidak mau harus diterima, yakni ketika mereka (alay) tengah mengaktualisasikan diri mereka, mereka malah menciptakan sebuah kelas baru dalam masyarakat. Mereka, sadar atau tidak, memposisikan dirinya diantara orang kota dan orang kampung.

Alay : Sebuah Kelas Baru

Terbentuknya sebuah kelas baru didasarkan pada sebuah kemunculan suatu struktur sosial yang menghubungkan antara individu yang saling terpisah, dengan adanya komunikasi dan interaksi serta kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh anggotanya. Kesamaan tersebut bisa berupa status ekonomi, pekerjaan, dan kepemilikan (seperti yang dijelaskan oleh Karl Marx). Alay sendiri merupakan penggolongan berdasarkan persamaan tingkah/reaksi/pola/perilaku yang melekat pada dirinya. Posisi alay yang berada ditengah-tengah orang kota dan orang desa, didasarkan pada penggolongan tersebut. Apa yang menjadi perbedaan orang kota dan orang desa. Sebagaimana saya kutip dari yahoo answers, secara umum perbedaannya terletak pada pola berpikir dan gaya hidup. Alay sendiri sudah mendekati gaya hidup orang kota, namun masih belum menuju pada pola pikirnya. Pola pikir sangat menyangkut dan berkaitan pada tingkah laku/perilaku seseorang.

Terbentuknya alay sebagai sebuah kelas baru, tidak bisa dihilangkan dari kesepakatan pencitraan masyarakat kota. Masyarakat kota semacam menjadi eksekutor atas pem”branding”an alay ini. Dalam buku komik seri Lagak Jakarta karya duo Benny & Mice yang bertajuk “100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta” misalnya, sosok anak gaul (model rambut berubah ngikutin trend, kaos skater palsu, boxer yang sengaja diperlihatkan, celana hypster, mp3 buatan China berisi lagu-lagu ST12, Kangen Band, jam tangan puma palsu, dll) yang digambar begitu melekat dengan alay. Kemudian sosok mas-mas mudik, yang secara penampilan hampir sama dengan sosok anak gaul. Penggunaan istilah “rambut ala mas-mas” merupakan istilah yang cukup untuk menggambarkan sosok alay.

Lantas muncul sebuah pertanyaan, apa bedanya alay dengan orang kampungan. Kampungan mengacu pada pengertian ketinggalan jaman, entah itu orang yang tinggal di kota ataupun (apalagi) orang yang tinggal di desa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi yang diperoleh masyarakat desa sangat terbatas dibanding masyarakat kota. Alay berbeda dengan kampungan, meskipun hampir sama. Alay lebih mengarah pada pola konsumsi orang-orangnya, bukan dalam hal ketinggalan jaman. Pada suatu titik, alay dan kampungan memang melekat (mereka sama-sama orang kampung dengan pola pikir relatif sama), namun disisi lain mereka berbeda (hasrat mereka untuk menunjukan keberadaannya, kaitannya dengan pola konsumsi). Kesimpulannya, alay adalah orang kampungan dengan kondisi ekonomi lebih baik.

Kesimpulan

Alay merupakan salah satu dari berbagai fenomena sosial yang terjadi di negara ini, khususnya kota-kota besar. Hal ini tidak terlepas dari gencarnya globalisasi, dan globalisasi memicu terjadinya “perang budaya”. Terus terang, budaya asli kita sudah kalah (mau tidak mau harus mengakui). Perubahan perilaku masyarakat kota-kota besar dan pola konsumsi (konsumerisme) yang semakin menggila, adalah salah satu indikatornya. Kota, sebagai sebuah wilayah yang menawarkan berbagai akses sosial, mendorong masyarakat-masyarakat “bukan” kota ingin hidup di kota, dengan harapan mendapatkan akses tersebut. Secara tidak langsung, mereka melibatkan diri dalam “perang budaya” tadi, belum lagi hasrat mereka untuk menampilkan diri (mengaktualisasikan diri).

Seharusnya, keberadaan alay bukan untuk dicemooh, diolok-olok, dimarginalkan sebagaimana marak dilakukan didalam Facebook. Keberadaan mereka seharusnya menjadi cermin masyarakat kota, bahwa mereka muncul sebagai reaksi atas gaya hidup atau pola konsumsi yang menggila, yang dipraktekan oleh masyarakat kota itu sendiri. Masyarakat kota adalah sebuah acuan bagi alay supaya keberadaannya (alay) bisa diakui. Mungkin, masyarakat kota sudah cocok dan mampu “beradaptasi” dengan pola dan gaya hidup demikian, karena ditunjang oleh pola pikir yang lebih maju. Tidak demikian dengan alay, mereka hanya meniru dan meniru, sementara pola pikirnya tidak berkembang.

Alay, ketika dihubungkan dengan selera, sungguh sangat naif apabila itu menjadi sebuah bahan olok-olok. Misalnya, baju yang mereka kenakan tidak matching atau norak, gaya rambut yang berlebihan, selera musik mereka, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Seperti penjelasan diatas, mereka hanya mau menyesuaikan diri dengan lingkungannya (kota), supaya tidak di”brand” kampungan (ketinggalan jaman) padahal mereka sudah hidup di kota. Namun, pertanyaan yang paling penting adalah apa salah alay sehingga menjadi sesuatu yang negatif dan seolah-olah orang kota tidak menerima keberadaannya?

oOo


[1] http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2007/10/05/urbanisasi-mobilitas-dan-perkembangan-perkotaan-di-indonesia/

[2] Sebagaimana saya kutip dari Prof. Dr. Irwan Abdullah, dalam tulisannya yang berjudul Transformasi Ruang, Globalisasi dan Pembentukan Gaya Hidup Kota ( Simposium Ilmu-Ilmu Humaniora III, Fakultas Sastra UGM, 1996)

Tags: , , , , , ,

“Setiap tempat, adalah sebuah panggung” begitu kira-kira yang menjadi jargon Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), sebuah jaringan pekerja seni dan budaya yang digagas oleh Widji Thukul dan beberapa orang kawannya pada sekitar tahun 1993. Seperti yang pernah disampaikan Soekarno, yang paling penting dalam membangun sebuah bangsa untuk menjadi bangsa yang besar adalah pembangunan sebuah karakter bangsa yang kuat. Bagaimana agar sebuah bangsa memiliki karakter yang kuat, yaitu lewat budaya bangsa itu sendiri. Budaya adalah hasil dari daya cipta/daya kreatif manusia-manusia yang berada didalam sebuah lingkungan tertentu, dan karena setiap budaya yang muncul sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satunya lingkungan, maka sebuah budaya yang muncul pada suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah yang lain. Bayangkan, negara ini memiliki berapa ratus budaya, dan seharusnya bisa menjadi tolok ukur kemajuan negara ini.

Kembali pada jargon JAKER diatas, seharusnya jargon ini tidak hanya berhenti pada sebuah wacana saja. Jargon tersebut memiliki sebuah semangat besar dibaliknya, yakni semangat berkreatifitas tanpa henti, sehingga dimanapun kita berada, disitulah terdapat sebuah ruang untuk mengaktualisasikan diri kita, entah bagaimana caranya. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, ruang publik (jangankan di Indonesia) di Jogjakarta sudah semakin memprihatinkan. Halte bus di kota ini bahkan bisa kita hitung dengan jari sebelah tangan, halte yang ada pun kumuh, penuh coretan dan beralih fungsi. Telepon umum bahkan sudah tidak ada, kalaupun ada itu sudah rusak. Taman kota sudah tidak menarik untuk dikunjungi, dan beralih menjadi pelampiasan hasrat seksual. Mall atau pusat perbelanjaan yang sedianya merupakan sebuah ruang publik yang kontemporer, malah menciptakan sebuah kelas sosial.

Ruang publik yang ada, seharusnya bisa menjadi sebuah wujud kebudayaan sebuah masyarakat. Ketika semua ruang tersebut hilang, tidak terawat dan beralih fungsi, apakah masih bisa, kita (sebagai bagian dari masyarakat) disebut sebagai manusia yang berbudaya. J.J. Hoenigman (sebagaimana saya kutip dari wikipedia) menyebut aktivitas, sebagai suatu tindakan terpola dari suatu masyarakat adalah sebuah wujud dari kebudayaan. Lantas, apakah kebudayaan yang ingin kita tampilkan adalah kebudayaan “mengenaskan” seperti yang termanifestasikan didalam ruang publik kita. Bagaimana bisa membangun Indonesia menjadi sebuah negara maju, apabila manusia-manusia didalamnya masih belum bisa berkebudayaan, manusia-manusia yang sembrono, reaksioner, brangasan, usil, celele’an, masih belum di up-grade.

Ambient Media

Ambient media adalah sebuah istilah dunia advertising sebagai bentuk pembaharuan atas cara-cara beriklan konvensional. Ambient media sendiri muncul pada tahun 1999 di Inggris. Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, ambient media mulai banyak digunakan oleh para pegiat industri periklanan. Secara harfiah, ambient media merupakan sebuah cara menawarkan suatu produk kepada konsumen, melalui media-media yang berkaitan dengan lingkungan. Bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ambient media (iklan) ini berusaha “bersetubuh” dengan apa yang menjadi medianya. Sebagai contoh, nike membuat branding pada sebuah tempat sampah umum, sehingga terkesan tempat sampah tersebut adalah keranjang basket. Ambient media ini terbukti efektif, disamping mempercantik tata ruang kota, dalam hal mencuri perhatian publik.

Masyarakat, dalam hal ini adalah sebagai target pemasaran, sudah terlalu bosan dengan iklan-iklan yang hadir didalam koran, disela-sela acara televisi yang memiliki rating tinggi, didalam neonbox, billboard (yang malah cenderung menjadi sampah visual). Kini, dengan hadirnya ambient media, masyarakat menjadi tidak sadar bahwa mereka sedang berusaha dibujuk untuk berlama-lama melihat iklan. Bandingkan dengan iklan yang berada disela-sela acara televisi yang memiliki rating tinggi, pemirsa tentu lebih senang mengganti chanell untuk sesaat dan beralih ke acara lain, daripada memilih untuk menyimak iklan yang begitu banyaknya. Hal ini disebabkan, ambient media secara langsung berinteraksi dengan publik, dan berada diantara mereka. Berbeda dengan iklan konvensional yang terkurung didalam layar kaca, terpenjara dalam koran, neonbox, billboard, dll.

Ambient media memberikan sebuah memorable experience kepada konsumen, dan hal ini menjadi sebuah keuntungan terhadap produsen yang memasarkan iklannya melalui ambient media. Sebuah iklan akan menjadi lebih menarik ketika berhasil menciptakan sebuah interaksi antara iklan tersebut dengan masyarakat atau konsumen. Sebuah halte bus yang disulap oleh Mc’Donalds sebagai tempat pemesanan makanan misalnya, menawarkan sebuah ruang yang berbeda kepada masyarakat yang sedang menunggu datangnya bus kota. Masyarakat yang sedang menunggu bus kota, seolah-olah disetting sedang berkunjung dan memesan makanan di Mc’Donalds. Hal ini tentu akan lain, apabila Mc’Donalds hanya memasang poster atau banner pada sebuah halte bus tersebut, karena masyarakat hanya akan melihat saja dan kemudian akan lupa terhadap iklan tersebut.

Ambient Media : Sebuah Formula Menghidupkan (Kembali) Ruang Publik

Sepertinya, semangat ambient media sebagai sebuah terobosan didalam dunia advertising, patut diserap sebagai upaya membangun kembali ruang publik kita yang memprihatinkan. Bagaimana cara menyulap ruang-ruang tersebut agar berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika masyarakat sudah bisa menggunakan dan menjaga ruang-ruang tersebut sebagaimana mestinya, maka akan tercipta sebuah keteraturan dan kenyamanan. Masyarakat akan merasa terhibur ketika berada ditengah ruang-ruang tersebut. Ketika masyarakat merasa terhibur, maka ruang-ruang tersebut akan hidup dan berguna.  Ketika ruang-ruang tersebut hidup, maka akan tercipta sebuah interaksi antara ruang publik dengan masyarakat yang sedang berada diantaranya. Bukankah hal ini baik dan sangat menunjang dalam proses perbaikan tindakan masyarakat terhadap sebuah ruang publik. Apa yang menjadi semangat ambient media bisa ditarik sebuah persamaan dengan jargon JAKER, yakni setiap tempat adalah panggung.

Kita bisa berekspresi secara bebas, dan mengeluarkan hasrat seni dan daya kreatifitas yang ada didalam diri kita, ketika kita berada di dalam ruang publik. Bukankah ruang publik memang diciptakan untuk kebutuhan semacam itu. Bayangkan, apabila perupa di Indonesia menyulap halte bus, telepon umum, taman kota, wc umum, bahkan pusat perbelanjaan sekalipun, menjadi sebuah space/ruang yang menarik. Bayangkan lagi, apabila bengkel-bengkel kesenian/kelompok-kelompok teater mengadakan acara rutin di jalan raya, tentu dengan format yang sederhana. Apabila semua itu terwujud, maka sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh pegiat seni dan budaya di Jogja ini akan sangat mudah diterima oleh masyarakat luas. Sebuah pesan yang selama ini hanya berkutat diatas panggung, kanvas, kertas, batu, tanah, dll.

Tentu saja ketika kita berbicara masalah ruang publik, akan berbenturan dengan bebragai birokrasi yang ada didalam pemerintahan. Pemerintah sebagai pemberi izin penggunaan fasilitas umum, seharusnya sudah mulai terbuka cakrawala berpikirnya, tentang bagaimana memanfaatkan ruang publik agar layak dan tidak beralih fungsi. Apalagi di Jogjakarta, yang mendapat julukan kota budaya ini, seharusnya sangat mudah dalam hal mendapat izin dari pemerintah setempat, untuk membuat sebuah acara seni dan budaya dimanapun tempatnya. Semakin banyak acara seni dan budaya semakin bagus bukan, apalagi bila diadakan di jalanan atau ruang-ruang publik yang ada, yang selama ini hanya terpenjara didalam panggung dan galeri, yang hanya menciptakan image bahwa acara tersebut hanya untuk orang yang “ngerti” seni.

*Beni Satryo

: contoh ambient media yang saya kumpulkan dari internet


 

Seorang kawan bercerita, bahwa dia baru saja menyaksikan sebuah acara musik yang mengusung semangat ‘indie’ dihalaman kantor sebuah surat kabar lokal Jogjakarta. Yang menarik perhatian saya terhadap apa yang diceritakannya adalah bintang tamu acara tersebut salah satunya adalah SKJ ’94, yang notabene adalah band yang sangat saya sayangi. Menarik. Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuat sebuah band didaulat sebagai band ‘indie’, dan yang paling penting adalah pengertian ‘indie’ itu sendiri.

Indie, secara praktis, berarti independen. Merdeka dan bebas. Dalam konteks bermusik, musik indie menurut hemat saya adalah sebuah komposisi musik yang dihasilkan tanpa ada intervensi apapun (dalam hal ini adalah pasar) dalam proses kreatifnya, sehingga si pembuat komposisi musik tersebut bisa merasakan “keberadaannya” didalam musik yang ia buat. Merasakan “keberadaan” dalam hal ini mungkin bisa berarti independen karena output yang dihasilkan adalah murni dari kesadaran dan proses kreatifnya secara subyektif, tanpa ada intervensi pihak lain, sehingga si pembuat musik itu merasa puas karena berhasil memanifestasikan dirinya dalam sebuah karya seni, dalam hal ini komposisi musik.

Apabila si pembuat musik tersebut menggunakan referensi komposisi musik lain, maka secara satu paket dia harus tahu apa yang dia dengarkan secara menyeluruh (baca : ngeroot) terhadap musik yang menjadi referensinya tersebut, tidak sekonyong-konyong permukaannya saja a.k.a banal. Contoh, apabila ditanya “eh guys, Nidji tuh band apaan sich ?” maka kita bisa menjawab secara komperhensif corak musik yang mereka bawa, dari album pertama sampai album terbaru mereka, sehingga bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa Nidji itu adalah band, emmmm band apa ya ? Maaf. Sepertinya saya salah mengambil contoh, karena Nidji adalah contoh nyata Band Banal Tingkat Nasional, jadi sangat sulit menemukan idealisme bermusik dalam band tersebut. Saya ganti saja contohnya menjadi Sonic Youth, misalnya. Ketika beberapa album terakhir mereka (Murray Street, Sonic Nurse, Rather Ripped,dst) bernuansa Grunge,karena Thurstoon Moore sangat tergila-gila kepada Kurt Donald Cobain, tapi apabila ditilik ulang dari album pertamanya yakni Confusion is Sex sampai Goo yang muncul diakhir ’80an, mereka lebih cenderung pada genre Noise. Lantas, apakah kemudian Sonic Youth adalah band beraliran Grunge, tentu tidak demikian, karena mereka sudah memunculkan benang merah dalam mainstream bermusik mereka, yakni Noise. Sejauh apapun mereka bereksplorasi, aroma Noise masih bisa kita rasakan disetiap album dan lagu-lagu mereka. Nggak kayak Nidji.

Pada kasus SKJ ’94, menurut saya adalah salah besar apabila ada acara atau gigs yang mengusung semangat ‘indie’ malah menampilkan SKJ ’94 dan band2 sejenis, sepaham, semacam, sebelas dua belas, segantang dua gantang, sehidup semati, sekarepmu…:) karena, menurut saya band tersebut sama sekali tidak bebas. Tidak bebas dalam artian berpikir dan berkarya. Saya sangat bisa menerima, ketika ada sebuah gigs yang mengusung semangat ‘indie’ menampilkan band2 yang benar2 konsisten dalam musik mereka -meskipun sebenarnya saya kurang selera terhadap musik tersebut, tapi sangat mengapresiasi mereka dalam hal bermusik- semacam Kuburan Batu, Sembah Darah, Distorsi Arwah, Kepala Setan Pecah, dan nama-nama band sejenis.

Kalo SKJ ’94, mereka malah membuat sebuah kontradiksi dengan semangat ‘indie’. Alasannya simpel sebenarnya, mereka adalah salah satu korban dari aksi “banalisme Giring dkk. dalam bermusik, lewat hitsnya yang meledak yakni, Disco “Asshole” Time.

Fenomena asshole yang membuat ruang elektrik yang susah-susah dibangun oleh Goodnight, Ape On The Roof, Upstair agar tampak mahal dan cerdas, serta merta runtuh begitu saja. Bodohnya lagi, hits tersebut mendapat tempat dihati masyarakat “muda” kita. Semacam membawa sebuah gebrakan baru dalam bermusik, Nidji adalah band cerdas (ndasmu !). Pasca meledaknya Disco Asshole Time meledak, muncul gerakan reaksionerisme band-band’an lewat “Elektrisasi Panggung Pensi” yang dimotori oleh SKJ ’94, Diskomojoyo. Bahkan, Jikustik lewat “Selamat Malam Dunia”. Gila !

Padahal, ketika Nidji pertama muncul (waktu itu saya lihat di acara Satu Jam Bersama Iwan Fals yang disiarkan SCTV) mereka membawa musik british versi Coldplay dengan Giring menampilkan aksi panggungnya bak Chris Martin, lewat lagunya yang berjudul “Child”. Sumpah I Love You, saya terkagum-kagum dengan band ini, dan langsung “salto kebelakang kayak Kasino pas difilm Dono karena sofa yang ada uangnya sudah dijual” lantaran mereka bikin lagu Disco “Asshole” Time. Saat itu sedang heboh Goodnight, Upstair, dkk. Malah, sekarang ini saya semakin salto kebelakang 1000 kali permenit, ketika Nidji membuat hitsnya yang berjudul “Shadow” ala MUSE. Identitas apa yang ingin ditonjolkan dari band semacam ini.

Sebagai penikmat hasil karya musik orang di Jogjakarta ini, saya sangat bangga dengan apa yang telah mereka (musisi lokal Jogjakarta) tampilkan/hasilkan. Saya juga bangga dengan apa yang telah SKJ ’94 hasilkan, yakni perdebatan seru para punggawa musik lintas genre dan menghidupi abang-abang tukang stiker “Fuck SKJ ’94”, walaupun sedikit malu ketika mendapati kenyataan bahwa mereka adalah band asal Jogjakarta.

Ketika Nidji masih mendapat tempat, maka semakin banyak bermunculan band2 banal reaksioner semacam SKJ’94 dkk. yang mungkin sebenarnya sangat bisa berkualitas apabila mereka me-merdeka-kan mainstream bermusik mereka, yang membuat mereka “ada” karena mereka bermain musik.

nb : jujur, saya belum pernah liat aksi elektrik mereka a.k.a SKJ ’94 secara langsung, jadi mungkin tulisan ini agak hiperbol, lebay, ahistoris, subyektif dan agitatif.,

*tulisan ini dibikin karena saya sangat sayang kepada SKJ ’94 dan someone yang lagi ada di somewhere yang sedang main some-gong sambil ngrokok Dji Some Soe 🙂

Tulisan ini telah mengalami revisi, karena tulisan sebelumnya (apa itu puisi?) menurut saya tidak berbicara apa-apa mengenai puisi itu sendiri.

Sutardji Chalzoem Bachri pernah menulis sebuah kredo tentang puisi. Kredo merupakan sebuah kata serapan, yang berasal dari bahasa Latin yakni credo yang berarti aku percaya.  Dalam kredo puisi tersebut, Sutardji mengembalikan kata-kata kepada mantra, karena menurut Sutardji menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, yaitu pada mulanya kata. Kata tidak seharusnya menyandang beban tertentu untuk menunjukan seuatu hal. Kata tidak berarti apa-apa, selain kata itu sendiri. Misal, kursi bukanlah tempat untuk duduk melainkan kursi itu sendiri. Kata tidak seharusnya dibebani oleh sesuatu, termasuk moral didalamnya. Apabila kata terbebani oleh sesuatu, maka kata tersebut terbelenggu dan terjajah, sehingga kata itu sendiri tidak bisa menafsirkan apa-apa selain hal yang membebaninya tersebut.

Saya mencoba membuat kredo saya sendiri terhadap puisi, terhadap apa yang saya yakini tentang puisi. Sedikit banyak, kredo Sutardji tentang puisi ini mencerahkan saya terhadap pengertian puisi itu sendiri.

Menurut saya, puisi tidak hanya terdiri dari sebuah kata per kata. Sebuah puisi dibangun oleh bermacam-macam komposisi. Seperti misalnya sebuah lukisan, terdiri dari warna, bentuk, dan tentunya emosi. Foto, terdiri dari obyek, cahaya, dan tentunya emosi yang ingin disampaikan. Musik, terdiri dari pelaguan nada-nada, gabungan berbagai macam instrumen, dan tentunya emosi yang membangun musik tersebut. Begitupun dengan puisi. Puisi tidak hanya terdiri dari kata saja, melainkan ada sebuah emosi, bentuk, dan segala sesuatu yang membangun puisi tersebut sehingga membedakannya dengan karya sastra lain.

Setiap karya apapun itu bentuknya, tentu memiliki tendensi tertentu. Puisi, memiliki tendensi pula, yakni sebagai media penghantar emosi si penyair. Bukan bermaksud membebankan puisi untuk melakukan suatu hal, namun demikianlah adanya. Ketika sebuah puisi muncul, tentu dibelakangnya ada sebuah proses kreatif. Proses tersebut yang kemudian menghantarkan puisi menjadi sebuah media penyampai emosi, entah itu marah, sedih, gembira, berduka, mengamuk, tertawa, bahagia, dll.

Puisi haruslah romantis. Romantis tidak selalu cengeng dan membahas percintaan, bukan? Romantis disini mengacu pada sebuah upaya membangkitkan kenangan-kenangan indah yang ada pada obyek puisi itu. Kenapa puisi harus romantis? Karena sesuatu yang baik dan indah dalam ingatan, akan membangkitkan gairah dalam menjalani kehidupan didepan. Kalau terjebak dalam romantisme, ya minimal kita bisa bahagia dalam kenangan-kenangan tersebut. Puisi harus membuat umat manusia bahagia. Seperti kakek-kakek yang selalu menceritakan kenangan-kenangan masa mudanya kepada anak cucunya, puisi berperan sebagai “potret” kenangan tersebut.

Dan, kata-kata yang membangun puisi tersebut adalah sebuah potongan film, atau potongan tangga nada dasar. Kata-kata membentuk sebuah ingatan. Ingatan mengalir menjadi sebuah romantisme tentang hasrat terpendam, pencapaian yang luar biasa, dan lain sebagainya.

Dan, puisi membangun semua itu dalam sebuah partitur, frame, atau pita kaset untuk kita mainkan kembali, secara berulang-ulang.

Aku percaya, puisi bisa membawaku pada sebuah emosi yang identik, ketika aku pernah merasa bahagia sekali, atau berduka sekali. Meskipun pada saat ini, aku tidak mampu merasakan apa-apa lagi.

Jogjakarta, 13 Desember 2008

belakangan ini sedang marak-maraknya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai harga BBM yang semakin membumbung. ada beberapa hal yang menarik terlepas dari konteks demonstrasi tadi, yakni EKSISTENSI.

demonstrasi mau tidak mau harus dilekatkan dengan istilah eksistensi. eksistensi secara kelompok maupun individu. banyak cerita-cerita menarik yang bisa didapatkan dalam demonstrasi selain berpanas-panas ria dan digebuk, dihajar, bahkan ditembakki aparat keamanan.

pada sebuah demonstrasi, bisa diperhatikan beberapa alat-alat untuk menunjang eksistensi kita secara kelompok maupun individu. ada kamera televisi, kamera photo, wartawan, bendera-bendera organisasi, megaphone, dan banyak lagi.

jadi jangan heran apabila banyak demonstran yang sebenarnya tidak tahu apa yang diperjuangkan dijalanan selain hasrat untuk eksis tadi. semakin demonstran itu menggila, semakin terlihat pula eksistensi mereka, dan semakin jelas pula bahwa demonstrasi semacam itu adalah demonstrasi bodoh.

sungguh ironis, kita sudah babak belur dihajar polisi, atau ketar ketir siapa ahu ada peluru yang menyasar ke dada kita, tapi kita tidak paham apa yang sedang diperjuangkan. hanya eksistensi yang kita dapatkan.

keesokan paginya terbit sebuah koran;
TELAH DITEMUKAN SEORANG MAYAT DEMONSTRAN DIPINGGIR JALAN DENGAN LUKA TEMBAK DI DADA DAN KEPALANYA

diambil dari blog saya yang lupa passwordnya (posting tanggal 20 Juni 2008)