Skip to content

benisatryo

next issue : cold war!

Category Archives: review

Be first! to read my newest poetry only on http://furmagazine.blogspot.com/ with another amazing artworks from 17 talented artist. Only 30K, you will get full version 120 sheet black and white printed and of course an amazing experiences of  “Lust”.

CONTACT
Email: fur.magazine@yahoo.com
phone: +62 856 433 49 675

Tags: ,

Iseng-iseng tadi saya keluyuran di Lounge, lantas saya menemukan sesuatu yang menarik. Saya menemukan sebuah video yang berisi suara Karlmayer. Apa itu? Konon katanya suara ini sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan efek buruk terhadap pendengarnya. Nggak kayak “Gloomy Sunday” yang fenomenal itu karena bisa menuntun pendengarnya untuk bunuh diri, suara ini bisa menyakiti pendengarnya.

Saya penasaran. Lantas saya mencari di sebuah mesin pencari kata kunci. Pada beberapa tulisan teman-teman disana, Karlmayer merupakan suatu jenis suara/musik/simfoni/audio yang bisa membuat orang kacau pikirannya, mengalami gangguan jiwa, terganggu mentalnya, rusak batin, dll. Hal ini disebabkan karena frekuensi audio yang sangat ultra-super mega tinggi, dan akhirnya mengganggu indera pendengaran kita.

Media ini juga konon katanya dijadikan sebagai alat untuk membantu proses interograsi seseorang, dengan memaksanya terus menerus mendengar suara ini dalam volume maksimal. Katanya, seseorang yang mendengarkan ini secara kontinyu dan dalam waktu lama, bisa berakibat fatal. Mulai dari berhalusinasi, sampai menjadi gila.

Komposisi dari media ini hanyalah jeritan-jeritan nggak jelas, yang kadang kita menebak-nebak seperti suara kelelawar, terkadang seperti kuntilanak kejepit beduk, anak kecil cekikikan, pokoknya macem-macem. Intinya suara itu memiliki gelombang yang sangat amat tinggi. Pada beberapa bagian, memperdengarkan suara perempuan-perempuan yang bersenandung, semakin lama semakin klimaks, hingga akhirnya kembali lagi pada suara semula, yakni gelombang tinggi.

Saya mendengarnya dari dini hari tadi, sampai mau subuh. Hasilnya, sampek sekarang telinga saya nguing-nguing dan panas. Seperti ada feedback dari soundsystem kepada telinga saya. Seperti ada yang sedang membicarakan saya (mitos orang Jawa), dan saya agak migrain, leher saya kaku. Mungkin dua akibat terakhir disebabkan karena saya kurang tidur, namun kalok telinga yang berdengung terus saya pikir bukan karena efek kurang tidur. Syukurlah, saya belum merasa gila.

Namun,  yang menarik disini, saya semakin percaya terhadap kekuatan yang dihasilkan oleh sebuah gelombang suara. Misalnya, ketika sebuah janin berada di dalam kandungan, seorang ibu mendengarkan musik klasik supaya kelak anaknya pintar. Rekaman-rekaman suara alam, seperti air terjun, kicau burung, bisa membantu penderita autis. Hal tersebut saya pikir adalah adanya hubungan erat antara pendengaran dengan otak.

Coba dengerin aja suara tersebut, kalok anda berani. Apalagi kalok anda adalah pendengar setia Mars-Volta, Pink Floyd, Mum, Animal Collective, dan band-band sakit yang banyaknya minta ampun itu, anda pasti kuat mendengarnya bahkan bisa menikmatinya sambil minum teh dan menghisap rokok favorit, sambil sesekali tersenyum kepada para tetangga yang kebetulan lewat di depan anda.

Tags: , , , , , , , , , , , ,

Saya mencoba berbagi kepada kawan-kawan, khususnya OI dan Falsmania. Album ini, menurut saya adalah salah satu album terbaik yang pernah digarap oleh Iwan Fals.  Menurut saya, Iwan Fals mulai beranjak “dewasa” pada kurun waktu 90’an, setelah Setiawan Jodi mengajaknya bergabung dalam proyek “Mata Dewa” pada tahun 1989. Maksudnya, kedewasaan Iwan Fals lebih terlihat ketika beliau menyampaikan kritik dalam lagu-lagunya pada tahun-tahun demikian. Ketika Iwan Fals berdiri sendiri sebagai penyanyi, dari album pertamanya 3 Bulan (1981) sampai 1910 (1988), kritiknya cenderung nakal dan liar. Mulai tahun 1989, lewat album Mata Dewa, kritik yang sebelumnya hanya menjadi suara akar rumput, seolah-olah diteruskan menjadi kritik yang lebih elegan dan bernilai politis.

Ibaratnya, sebelum bertemu Setiawan Jodi, Iwan Fals hanyalah seorang demonstran yang kerjanya menggerutu dan terbakar sendiri oleh protes terpendamnya, setelah berkolaborasi dengan Setiawan Jodi, Iwan Fals menjadi seorang anggota dewan. Itu pendapat saya. Coba bandingkan lagu Ambulance Zig-zag, Celoteh Camar Tolol, Sumbang, Tikus Kantor, Wakil Rakyat, dengan Bento, Kesaksian, Proyek 13, Bongkar, Badut, dll. Tentu kita semua bisa melihat perbedaannya, meskipun sangat samar.

Nah, dalam album Hijau ini Iwan Fals mengangkat tema Lingkungan, yang sampai saat ini masih relevan untuk diperbincangkan. Ada 7 buah lagu yang semua judulnya adalah Lagu 1, Lagu 2, Lagu 3, dst.. Saya sangat suka, sehingga saya hunting kaset ini, dan akhirnya nemu di Jatinegara, tepatnya di daerah Kebon Pala dengan harga 40.000, di sebuah toko kaset lama. Kenapa saya suka, ya karena saya suka Iwan Fals, tidak ada alasan! haha.. Kemudian saya mencari cara untuk memasukan album tersebut ke komputer, sehingga bisa saya dengarkan melalui format mp3, rupanya susah. Namun, rupanya album tersebut bisa diunduh secara gratis di 4shared.com. Maka, ya saya download aja, daripada repot.

Untuk teman-teman yang tertarik, klik link ini untuk mendownload album tersebut (Hijau-1992). Link tersebut saya dapat dari kawan musthpargoblog.blogspot.com, disana tersedia lapak album-album Iwan Fals yang sangat lengkap. Silahkan disedot.

OI Bersatulah!

oOo

span.jajahWrapper { font-size:1em; color:#B11196; text-decoration:underline; } a.jajahLink { color:#000000; text-decoration:none; } span.jajahInLink:hover { background-color:#B11196; }

Judul : Letters, Stories & Dreams

Jenis : Novel

Penulis : Cassandra Niki

Penerbit : Terrant

Tahun : 2010

Membaca sebuah karya sastra, pasti tidak bisa dilepaskan dari persoalan selera. Entah itu puisi, sajak, cerpen, novel (fiktif maupun kisah nyata) dan karya-karya serupa. Seperti dalam membaca karya ini, persoalan selera tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Permainan selera memang menentukan dalam menikmati sebuah karya, karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kesan yang muncul didalam benak para pembacanya. Namun, yang menarik adalah bagaimana para pembaca bisa menjunjung tinggi obyektifitas dalam melihat sebuah keutuhan karya, sehingga kesan yang muncul bukan lagi baik atau buruk, bagus atau jelek, melainkan sebuah apresiasi atau sebuah penghargaan terhadap penulisnya.

Saya bukanlah seorang penulis buku atau kritikus buku, pengetahuan saya mengenai buku-buku seperti ini bisa dibilang nol. Apa yang membuat saya ingin menulis sebuah review mengenai buku ini ada dua hal. Pertama, ini adalah buku atau karya (sejenis novel remaja atau kumpulan jurnal pribadi) pertama saya. Kedua, saya berada pada sebuah institusi pendidikan yang sama dengan si penulis, dan saya mengenal dia, minimal setelah saya membaca bukunya. Dengan demikian, tulisan ini sama sekali tidak berniat untuk memberi efek apapun terhadap buku ini, selain perayaan yang meriah terhadap kehadiran buku ini.

Secara keseluruhan, buku ini menceritakan sebuah rekaman peristiwa yang dialami oleh penulis selama dua tahun ini. Seperti dalam bagian pertama buku ini yang diberi judul “Untuk Si Bolang”, buku ini secara kontinyu menceritakan kisah-kisah penulis dengan Si Bolang (yang akhirnya disebut Jonas) dan segala hal yang berhubungan dengan mereka. Meskipun ada beberapa cerita tentang masa-masa awal kuliah dan seabrek problematika seputar itu, tetap saja eksistensi Jonas dalam buku ini sangat nyata, karena tanpa ada Jonas dan rekaman-rekaman tentangnya, buku ini tentu tidak akan pernah muncul. Kira-kira seperti itulah intinya.

Namun, ada sebuah hal besar yang bisa ditemukan ketika membaca buku ini. Meminjam istilah Gunawan Maryanto, hari-hari yang menyusun perasaannya sendiri, penulis semacam melewati hari demi hari, bulan demi bulan yang demikian. Perasaan-perasaan yang sudah tersusun tersebut, kemudian menuntun si penulis kepada sebuah hasrat yang sangat dia inginkan, saat itu juga. Apabila saya boleh colongan berpuisi, maka kesan seperti inilah yang saya dapatkan ketika melahap habis lembar demi lembar halaman buku ini. Seperti matahari yang menulis perasaannya sendiri, menuntun garis-garis langit, menjadi guratan cakrawala untuk mematung diujung senja musim penghujan. Byur. Maka, jadilah sebuah peristiwa.

Apa yang paling terpenting adalah, buku ini cukup berhasil menjelaskan identitas penulisnya. Dengan kata lain, buku ini memiliki sebuah karakter yang kuat, entah sebagai hasil karya si penulis atau gagasan estetika yang dibangun. Sehingga, suatu saat ketika ada yang ingin melakukan sebuah riset mengenai pola pikir atau cara pandang remaja-remaja kontemporer, atau modern, atau posmodern (entah kita menyebut jaman apa sekarang ini) terhadap dunia, entah itu mimpi dan cita-citanya, buku ini cukup representatif terhadap jamannya dan bisa dijadikan sebuah referensi.

Semoga semua berbahagia.

Pernah ke Purwokerto? Kalau belum coba saja kesana, kota kecil yang berada sekitar 240 km sebelah barat Yogyakarta adalah kota yang menarik, lebih-lebih untuk urusan kuliner. Mendoan, sroto, nopia dan kripik tempe mungkin yang paling terkenal diantara yang lainnya. Pernah dengar jalabiya, temlek, awug-awug, ranjem, cimplung, kraca (sate keong), klanting, manggleng, marning, dan masih banyak lagi. Kali ini saya mencoba menyoroti nama beberapa warung makan yang tersebar dari Pabuaran (Utara) sampai ke Teluk (Selatan) dan dari Berkoh (Barat) sampai Kalibogor (Timur). Nama-nama warung makan yang saya temui cukup menarik dan membuat saya tergelitik untuk menelusuri konsep apa yang dibangun disini. Konsep dalam menjual dan menarik para pelanggan tentunya.

Pertama yang saya lihat adalah di jalan Ahmad Yani, didekat BBC (Banyumas Biliard Centre), yaitu sebuah kafe bernama “Bolo Dhewe” yang artinya teman sendiri. Kemudian yang tidak asing lagi bagi para pecinta ayam goreng di Purwokerto adalah ayam goreng “Tantene” yang ada di Karangsalam dan Pabuaran. Lalu, di jalan Brigjend Encung, ada sebuah warung bernama “Warunge Biyunge” yang artinya warung milik  ibu. Kemudian, ada sebuah warung gerobakan, semacam angkringan yang ada di Sumbang bernama angkringan “Kakange” yang artinya angkringan milik kakak. Dari beberapa nama warung tersebut, bisa ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa si pemilik warung menawarkan sebuah suasana keluarga yang kental. “Mangan yuh neng warung Biyunge, kencot kiye koh..tenang bae usah bayaran, wong duweke biyunge ikih”. Kalimat tersebut hanya sebuah selorohan, namun minimal ada sebuah semangat yang diselipkan yakni jangan malu-malu untuk mencoba makan disana.

Konsep Keluarga dalam Santapan

Apa yang dicari orang selain rasa apabila memilih untuk makan diluar? Tentunya adalah suasana. Suasana keluarga yang hangat saat santap malam adalah bumbu paling dahsyat. Meskipun saya pribadi belum pernah mencoba untuk makan di warung-warung tersebut, namun saya bisa merasakan sebuah konsep keluarga yang ditawarkan. Apalagi keluarga Banyumas, wah jelas suasana makan akan lebih mantap dan berselera. Orang-orang Banyumas terkenal dengan sebuah sikap yang diadaptasi dari tokoh pewayangan yakni Bawor. Bawor memiliki sikap cablaka yang mungkin artinya kalau tidak salah adalah bicara apa adanya. Cablaka dalam konteks ini bisa dikaitkan dengan proses berkomunikasi satu sama lain dalam sebuah keluarga. Belum lagi bahasa yang dipakai adalah bahasa Banyumas yang lebih dikenal sebagai bahasa Ngapak. Menurut sebagian orang, tentu yang bukan orang Banyumas, bahasa Ngapak adalah bahasa yang lucu dan menimbulkan hasrat ingin tertawa. Namun, apabila ditelisik lagi, bahasa tersebut mengandung unsur keakraban dan anti-kelas yang kental pada setiap intonasinya.

Masyarakat Purwokerto, atau Banyumas pada umumnya memang sangat ramah, dalam artian membangun semangat keakraban meskipun terhadap orang baru. Kalau tidak percaya, coba saja ke stasiun atau terminal, pasti anda akan disapa dengan senyum sembari ditawari “arep maring ngendi bos, nganggo becak/ojeg/teksi bae yuh”. Hahaha, dimana-mana pun akan terjadi seperti itu bukan, dan saya hanya berseloroh. Tapi memang benar bahwa orang Banyumas itu sangat ramah, adalah budaya Jawa yang sangat mengakar dan mempengaruhi budaya Banyumas. Bahkan ada beberapa literasi bahwa budaya Banyumas adalah budaya yang sudah sangat tua, bahkan sudah ada sejak jaman Jawa Kuno. Nah, semangat inilah yang diaplikasikan dalam bisnis kuliner di Purwokerto. Dengan pemilihan nama yang sedemikian rupa, seperti yang sudah saya tuliskan diatas tadi, para pemilik warung ingin membangun sebuah konsep keluarga dalam warungnya. Para pemilik warung tadi ingin menganggap si pelanggan sebagai bagian dari keluarga.

Mari ke Purwokerto, karena disana banyak keluarga anda menanti 🙂

judul film : A Moment To Remember

genre         : drama

karya         : John H Lee

pemain     : Jun Woo-sung, Son Ye-jin

tahun         : 2005

referensi saya terhadap drama korea masih sangat minim. hanya ada satu buah judul film (Sex Is Zero) dan sebuah drama televisi (lupa judulnya, hanya ingat salah satu karakter yang bernama Jang Geum). namun, dari keminiman saya tersebut, saya sudah bisa menyimpulkan jika drama korea memiliki ciri khas yang menonjol dalam penggarapan sebuah film, khususnya bergenre drama. ciri tersebut terletak pada tata sinematografinya yang menghasilkan output visual yang khas. antara Sex Is Zero yang berlatar dunia kuliah yang modern, ada sebuah kesamaan visual dengan Jang Geum yang mengambil seting sebuah jaman kerajaan korea.

kali ini saya berhasil meluangkan waktu untuk menonton sebuah judul lagi dari film bergenre drama asal korea, A Moment To Remember. film ini mengangkat sebuah penderitaan akibat penyakit Alzheimers, yang dalam film ini diceritakan bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit pikun akut yang mampu menghapus memori seseorang secara perlahan-lahan, bahkan menghapus semua ingatan secara total.

pada bagian awal kita ditawarkan sebuah drama komedi romantis, dimana pertemuan dua orang pemeran utamanya diawali oleh sebuah ketidaksengajaan. Su Jin yang merebut minuman soda dari tangan Chul Soo karena dia pikir minuman tersebut adalah miliknya yang tertinggal di kasir sebuah mini market. hubungan mereka akhirnya berlanjut hingga mereka berdua memutuskan untuk menikah. kehidupan rumah tangga mereka sangat membahagiakan. Chul Soo bekerja sebagai seorang arsitek dan Su Jin bekerja di perusahaan kontraktor milik ayahnya.

pada bagian kedua, mulai muncul sebuah konflik dimana penyakit Alzheimers yang diderita Su Jin mulai menggejala. Su Jin mulai lupa jalan pulang ke rumahnya, dia lupa sedang memasak air dan hampir membuat rumahnya terbakar dan dia membawakan bekal suaminya dua kotak nasi karena dia lupa memasukan lauk pauk kedalam salah satu kotak nasi tersebut. akhirnya Su Jin memutuskan untuk mengunjungi dokter dan dokter memvonis penyakit Alzheimers telah bersemayam dalam tubuhnya.

pada bagian ketiga, merupakan bagian yang mengharukan dimana kekuatan dan pengorbanan sebuah cinta diuji. mampukah sebuah cinta bertahan ketika semua hal yang indah yang telah dilakukan bersama akan hilang begitu saja. ingatan Su Jin perlahan hilang dan yang tersisa didalam ingatannya adalah kenangan bersama mantan pacarnya, bahkan Su Jin memanggil Chul Soo suaminya, dengan nama mantan pacarnya. disini juga ditampilkan pengorbanan Chul Soo untuk tetap membuat ingatan-ingatan baru untuk Su Jin dengan tujuan akan tetap membekas sebuah kenangan ketika kenangan-kenangan bersama Chul Soo mulai hilang. setiap hari adalah hari baru. namun, pengorbanan Su Jin tidak berhasil karena pada akhirnya penyakit Alzheimers tersebut akan membuat penderitanya lupa terhadap dirinya sendiri.

akhirnya penyakit Su Jin menjadi tidak terkendali. Su Jin melihat sekeliling rumahnya yang dipenuhi oleh foto-foto pernikahannya dengan Chul Soo. Su Jin menangis karena mula bisa mengingat suaminya meskipun sedikit. selagi dia ingat semuanya, dia menulis surat yang berisi pernyataan bahwa Chul Soo adalah suaminya, dan dia benar-benar mencintai Chul So. setelah menulis surat Su Jin pergi tanpa sepengetahuan Chul Soo. Su Jin pergi ke sebuah panti atau semacam rumah peristirahatan. Chul Soo menjadi galau dan sangat putus asa. pada suatu hari Su Jin mengirimkan sepucuk surat yang berisi bahwa tiba-tiba dia bisa mengingat semua hal tentang Chul Soo. Chul So mencari alamat surat tersebut dan akhirnya dia menemukan Su Jin sedang menjalani semacam terapi disana. tetapi kali ini Su Jin sudah lupa semuanya, dan dia menganggap Chul So sebagai orang baru dalam hidupnya.

pada bagian akhir, Chul So membawa Su Jin pada sebuah mini market dimana pertama kali mereka bertemu, dan didalam mini market tersebut sudah ada sahabat dan keluarga Su Jin yang berpura-pura menjadi penjaga kasir, pembeli, pelayan kebersihan dll. lalu Chul Soo membawa Su Jin kembali ke panti peristirahatan semabari mengucapkan bahwa Chul Soo mencintai Su Jin, yang tidak pernah dia ucapkan selama mereka berdua menikah.

ada beberapa poin yang perlu diperhatikan disini, yakni untuk film bergenre drama cengeng, sayang sekali pada bagian akhirnya menampilkan konsep happy ending. hal ini membuat film ini menjadi sesuatu yang biasa. lain halnya jika film ini tetap menjaga emosi penonton sampai akhir cerita. namun, menurut saya airmata penonton sudah cukup terkuras di pertengahan film ini, karena sebenarnya disitulah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan film ini. kenangan-kenangan indah dalam sebuah romansa percintaan memang penting, namun lebih penting lagi bagimana menjaga kualitas cinta tersebut meskipun tidak ada yang bisa kita ingat-ingat atau kita kenang (yang selama ini menjadi satu-satunya media paling ampuh untuk mempererat sebuah hubungan)

Tags: , ,

sebuah misteri, ketika kamu menjadi serakah
atas sesuatu yang telah kamu sepakati
kamu berpikir, kamu harus mendapatkan lebih
dari apa  yang kamu butuhkan, sampai ketika kamu mendapat segalanya
kamu tidak akan pernah bisa terbebas dan merdeka

bila kamu menginginkan lebih dari yang kamu punya
yang kamu kira, sangat kamu butuhkan
maka pikiranmu mulai sakit dan berdarah

aku rasa aku harus menemukan tempat yang lebih besar
karena, ketika kamu mendapatkan lebih dari yang kamu kira
kamu butuh tempat yang lebih luas

masyarakat, kamu adalah jenis yang gila dan menggelikan
aku harap, kamu tidak merasa kesepian tanpaku

masyarakat, kamu benar-benar gila dan menggelikan
aku harap, kamu tidak merasa kesepian tanpaku

masyarakat, kamu telah bermurah hati kepadaku
aku harap, kamu tidak berang ketika aku tidak sepakat denganmu

Terjemahan dari “Society” karya Eddie Vedder (OST. Into The Wild)

lirik lagu diatas adalah salah satu dari beberapa lagu yang digarap oleh Eddie Vedder (Pearl Jam) sebagai original soundtrack “Into The Wild” garapan sutradara Sean Penn. dalam album ini, Eddie Vedder memperoleh penghargaan sebagai Best Song Written pada ajang Grammy Award tahun lalu.

lagu tersebut memuat sebuah kritik terhadap masyarakat modern, yang penuh dengan kepalsuan. keterikatan yang terjalin, hanya sebuah topeng, untuk mencapai kepuasan individu. sebuah cermin masyarakat yang egois dan serakah, ketika hidup hanya dijalani untuk memperbesar materi dan melupakan nilai-nilai eksistensial dari manusia itu sendiri. manusia menjadi sebuah robot bernyawa, yang mengabdi pada pekerjaan, jabatan, dan uang. namun, pada kenyataannya mereka sama sekali tidak bahagia.

film ini bercerita tentang bagaimana Christopher Johnson McCandles yang akhirnya melepaskan diri dari sistem sosial, yakni masyarakat. dia merasa tidak bahagia terhadap sistem tersebut, sehingga melakukan sebuah pemberontakan, yaitu mengasingkan diri dan menjebakkan dirinya di alam buas. pada akhirnya, dia menemukan sebuah kebenaran, yakni kebahagiaan hanya nyata, apabila dibagi.

aksi yang cenderung berlebihan ini, adalah sebuah reaksi dari ketidakpuasan McCandles terhadap sikap kedua orang tuanya, khususnya perilaku sang ayah. McCandles hidup ditengah-tengah keluarga yang sedang tidak baik-baik saja. setiap hari, selalu saja ada pertengkaran diantara ayah dan ibunya. puncaknya, ketika McCandles lulus SMU dan mendapat kesempatan untuk kuliah hukum di Harvard, dia malah memilih untuk mengasingkan diri. dia memilih untuk meninggalkan semua kehidupan yang dianggapnya palsu itu, dan memilih untuk berkelana.

percaya nggak, kalo kita kelewat gelisah dan larut dalam kegalauan hidup, rupanya hidup akan menjadi semakin ceria dan bahagia. benarkah ? nggak tau juga sih, tapi coba dengerin deh, Mum sama Efterklang, dua band yang mungkin berbeda genre. nggak tau juga sih genre apa, mungkin lebih kayak bjork atau bisa juga digolongkan dalam shoegaze tapi versi etnik.

apabila kita mencermati kegelisahan dalam warna musik mereka –Mum dan Efterklang– ada sebuah perbedaan yang sangat mencolok, yakni dalam hal penggarapannya. Mum menawarkan sebuah kegelisahan murni yang berteriak-teriak, semacam ingin keluar dari dalam diri kita, lalu mengajak kita berdansa dengan kegelisahan itu sendiri. ditambah lagi dengan suntikan karakter vokal “palsu” yang semakin membawa kita pada kegelisahan yang ditawarkan oleh Mum lewat musik yang mereka bawa.

lain lagi dengan Efterklang. band eksperimental asal Denmark ini menawarkan sebuah musik yang lebih terang, ketimbang Mum. menggunakan konsep orkestra pada hampir semua lagunya, Efterklang semacam ingin meleburkan dua hal yang kontradiksi, yakni kemeriahan yang sebenarnya adalah selaras dengan kegelisahan yang muncul. ketika Mum menggambarkan kemeriahan adalah hasil akhir dari kegelisahan, Efterklang justru menggambarkan kegelisahan dan kemeriahan itu adalah satu hal yang melekat erat, tidak ada batas diantara keduanya.

coba deh, putar lagunya Mum yang The Ghost You Draw On My Back. abis itu langsung geber lagunya Efterklang yang judulnya Cutting Ice To Snow. kedua lagu tersebut, kalo dihayati hampir mirip, dan tentunya menawarkan kegelisahan buat yang ndengerin. minimal kita gelisah, lagu macam apa sih ini : ) tapi, dari segi komposisi, Mum jelas lebih gelap, dikuatkan dengan karakter vokalnya. ditambah lagi, kemampuan band-band asal Islandia untuk membuat lagu-lagu gelap semacam ini tidak diragukan lagi (sigur ros, bjork) sedangkan Efterklang, terkesan lebih ceria dalam menggarap lagu ini, yang sebenarnya output yang sampai pada perasaan pendengarnya adalah kegelisahan.

Efterklang, pada album Parades, hampir semua lagu yang ada begitu meriah. Polygyene, Mirador, Him Poe Poe, Horseback Tenors, Mimeo, Frida Found A Friend, Maison de Reflexion, Blowing Lungs Like Bubble, Caravan, Illuminant, dan terakhir Cutting Ice To Snow, secara gamblang dibalut suasana pawai. sedangkan Mum lewat albumnya yang diberi tema Summer Make Good, justru kebalikannnya. Hu Hviss, Weeping Rock, Nightly Cares, We Have A Map Of The Piano, The Ghost You Drawn On My Back, Stir, Sing Me Out The Window, The Island Of Children’s Children, Away, Oh How The Boat Drifts, Small Death Are The Saddest, Will The Summer Make Good, dan Abandoned Ship Bells, secara umum hampir sama, sampai-sampai mungkin kita tidak sadar bahwa lagu tersebut sudah berganti ke lagu berikutnya. mungkin karena semua lagu dalam album ini sangat “sepi”.

kesimpulannya, dua band diatas memiliki karakter yang sangat kuat. sehingga ketika kita mendengarkan lagu-lagu mereka, kita tidak hanya mendengar, terhibur, dan kemudian berlalu begitu saja. namun, ada sebuah pertanyaan yang mampu membuat kita berpikir, membuat kita terhenyak, dan menohok tenggorokan kita yang memaksa kita untuk terdiam menghayati hidup yang sangat asshole ini. meskipun hanya lewat media musik.

hip hip horray !

musik mencerminkan jiwa seseorang. seperti seorang penyair yang menafsirkan gejolak batinnya lewat untaian kata-kata, musik muncul sebagai rekaman atas apa yang sedang dirasakan oleh pembuatnya, dalam hal ini pemusik. seperti halnya genre musik yang lain, shoegaze pun demikian. secara etimologis, shoegaze berarti melihat sepatu. hal ini disebabkan, saat orang-orang yang memainkan aliran musik ini, mereka menunduk dan seperti sedang melihat ujung sepatu mereka sendiri.

shoegaze menawarkan sebuah ruang untuk pendengarnya merayakan kesepiannya masing-masing. karakter musik yang penuh dengan distorsi untuk menggambarkan jiwa yang bergejolak dan lantunan vokal yang biasanya datar dan terkadang menggunakan suara palsu (a.k.a falset) ditambah gebukan drum yang berderap-derap semacam degup jantung, yang selalu saja mengejar-ngejar usia kita. seperti penggambaran jiwa yang sebenarnya ingin berteriak-teriak namun badan tak mampu/mau mengabulkannya.

shoegaze sangat dekat dengan aliran musik semacam post-rock, phsycadelic pop, dream pop, post-punk, dan noise pop. aliran semacam itulah yang mempengaruhi warna musik shoegaze. kedekatan warna musik diatas dengan shoegaze terlihat dalam intensitas penggunaan distorsi pada setiap lagunya.

mendengarkan musik-musik shoegaze seolah-olah musik tersebut mengajak alam bawah sadar kita untuk bermain-main dengan kegalauan. bahkan terkadang secara laten mengajak pendengarnya untuk membunuh dirinya sendiri. membaca aliran musik ini dengan mendengarkan suara-suara yang dihasilkan, kita bisa mendapat sebuah pengertian bahwa antara kebahagiaan dan kesedihan bisa bertemu pada satu titik, dan shoegaze menjadi titik temu dua perasaan yang kontradiktif tersebut.

ketika punk menghembuskan nafas kebebasan dalam warna musiknya, shoegaze menggambar perayaan kesepian secara meriah didalam musikalitasnya. musik-musik yang sebenarnya riang dan mampu membawa khayalan kita kepada sebuah perasaan yang sangat membahagiakan, dikemas dalam suasana yang galau, gelap, cemas dan sebenarnya menakutkan.

mungkin perasaan itulah yang dirasakan oleh para pemusik shoegaze, ketika diatas panggung mereka seolah sedang kesepian, padahal mereka sedang merayakannya.

[ band shoegaze dari awal dikenal aliran ini : My Bloody Valentine, Sonic Youth, Cocteau Twins, Jesus and Mary Chain, Chapterhouse, Ride, Slowdive ]