Skip to content

benisatryo

next issue : cold war!

meresap peluh, berteduh hangat
secangkir teh dan secarik peristiwa
hujan yang bergulung berkelana
hanya berakhir diujung jemari kita

kita menunjuk kabut yang tak terlihat
ini hari sudah malam, dan kita harus berkemas
menuju cium yang selalu kita ingat

Jogjakarta, 30 Agustus 2010

Tags:

: buat B

I.

menetes pula airmata
dari sebuah lupa

dan, aku mengenangmu
sebagai sebuah kerinduan
yang lupa terjaga

II.

aku biarkan, malam yang pekat,
menangis sejadi-jadinya, dalam sunyi
tanpa bunyi, menjadi isyarat

memanggilmu kembali

III.

rembulan berkabut, malam gerimis
melekat lirih, gugur berguguran
pada yang berhembus dan berdetak

mengalir pula do’a-do’a
pada kerinduan yang bertaut
antara dirimu dan sebuah tiada

Jogjakarta, 28 Agustus 2010

Tags:

: buat B

hujan sebutir demi sebutir
pecah dan membuncah di kaca jendela
menjadi hantu-hantu kecil yang menempel
berbisik tentang entah suatu apa

kau tahu, tetes air itu
bening dan menggigil, menggigiti ujung jari

disana ada sepenggal kisah
dari sore yang membeku,
yang sedang menatap matanya sendiri

Jogjakarta, 24 Agustus 2010

Tags:

Layar-layar berkibar, ditiup angin yang menjadi-jadi. Layang-layang membegot, berontak kesana-kemari. Langit-langit bercahaya temaram, lampu neon berkedap-kedip bagai mata seekor bayi harimau. Lamat-lamat bergoyang disudut kamar, tersapu hawa dingin yang masuk lewat jendela yang setengah terbuka. Laki-laki terhuyung setengah berlari. Lambat laun tersungkur dibawah meja makan. Apa lacur mereka bergegas menuju pematang. Menunggu hujan reda, yang belum datang.

Layar-layar berkibar, laki-laki tertidur. Hujan tak reda, namun tak pernah juga datang.

Jogjakarta, 2010

Tags:

:buat B

kerinduan mencair
menjadi air, didalam saku celana
yang kejam dan susut menjadi duka.

percakapan merendah menjadi bisik
dalam telinga, dan menghilang sebagai abu.

dan, bunga-bunga gugur
menasbihkan namamu, menjelang kau datang
kembali, dan bertanya kembali, dan hilang kembali.

dan, kembali sebagai kerinduan
yang mencair, menjadi air, didalam saku celana
yang kejam dan susut menjadi duka.

dan tiada.

Jogjakarta, 2010

Be first! to read my newest poetry only on http://furmagazine.blogspot.com/ with another amazing artworks from 17 talented artist. Only 30K, you will get full version 120 sheetΒ black and white printed and of course an amazing experiences of Β “Lust”.

CONTACT
Email: fur.magazine@yahoo.com
phone: +62 856 433 49 675

Tags: ,

Jujur saya bukanlah seorang yang selalu mengikuti trend telepon seluler. Mulai dari ponsel warna, kamera, poliponik, mp3, sampai sekarang yang bisa facebookan saya tidak pernah menggubris. Tapi, saya termasuk orang yang sering berganti-ganti ponsel. Saya berganti-ganti ponsel bukan karena mengikuti trend, namun karena keadaan. Ada yang hilang, dijual karena butuh uang, sampai rusak total. Saya mulai dikasih ponsel oleh bapak saya pada tahun 2003, ketika itu saya baru kelas I SMU. Kenapa saya dikasih, ya enggak tau, lha wong itu ponsel juga gak guna-guna amat. Saya pacaran tetap mengandalkan wartel, meskipun sudah punya ponsel. Pacar saya juga udah punya ponsel, tapi gak terlalu digunakan juga. Mungkin masih gaptek πŸ˜€ Kepindahan saya ke Purwokerto mulai menunjukan intensitas penggunan ponsel yang sering. Saya sering berkirim sms dengan pacar saya yang ada di Jakarta. Namun, untuk telepon saya masih mengandalkan wartel.

Sampai akhirnya saya putus dengan pacar saya gara-gara wartel. Waktu itu saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk interlokal setiap hari, dan saya mulai malas dengan kebiasaan itu. Saya mulai ogah2an untuk menelpon dan akhirnya hubungan kami tak pernah jelas, sampai akhirnya kami mengakhiri hubungan tanpa menggunakan komunikasi babar plothas. Tau-tau ilang begitu aja. Huhuhuhuhuhu…

Entah kenapa, setelah putus, saya malah sering pake ponsel saya walaupun untuk sekedar mengirim sms kepada teman-teman dan gadis-gadis πŸ˜€ πŸ˜€ Tanya PR, terus ngajak nongkrong, sms orang bengkel, sms Lebaran, atau main Space Impact.

Medio 2004 mulai muncul ponsel-ponsel canggih yang menggila. Bisa video, mp3, warnanya cerah, pokoknya canggih. Tapi saya nggak tertarik. Lho wong ponsel bego aja nggak terlalu berguna, apalagi ponsel canggih. Mau buat apa. Menurut hemat saya, ponsel itu ya untuk sms dan telepon saja. Sudah sebatas itu tok, gak ada yang lain. Kalok bisa buat ngrekam, mp3an, apalagi buat internetan pada saat sekarang ini, itu bukan ponsel namanya. Entah apa. Namanya ponsel ya telepon selular, telepon yang bisa dibawa kemana-mana. Sebuah alat untuk memudahkan kita dalam proses berkomunikasi, nggak perlu kabel, tinggal ngomong dimana saja bisa. Kalok fiturnya sudah melebihi itu ya sudah menggeser substansi dari ponsel itu sendiri. Lagipula, saya bukan bisnisman atau orang sibuk yang membutuhkan seabrek fitur-fitur semacam PDF Converter atau built-in Wifi dll.

Ponsel ya untuk sms dan telepon saja, daripada uang banyak dibuang untuk fitur yang gak pernah saya sentuh sama sekali, mending beli ponsel kelas low-end aja. Lagipula kalok pengen ngrekam video, saya sudah punya JVC, mau setel mp3 saya juga punya mp3 player, mau internetan saya juga sudah punya laptop. Berikut ini adalah ponsel yang pernah saya gunakan, berikut alasannya πŸ˜€

1. Nokia 5210 (Medio 2003)

5210

Ini adalah ponsel pertamaxx saya. Sebenarnya ini adalah barang warisan bapak, waktu itu bapak ganti ponsel dan memberikan ponsel lamanya kepada saya. Saya cukup senang, meskipun tidak terlalu sering menggunakannya.

2. Sony Ericsson T600 (Awal 2004)

t600

Ponsel ini adalah ponsel keduaxx saya. Alasan saya ganti waktu itu karena ponsel lama saya 5210, keypadnya rusak. Kemudian saya beli koran dan menjatuhkan pilihan pada ponsel ini. Modelnya lucu dan kecil sekali, jadi saya suka. Saya menggunakan ponsel ini sebagai gantungan kunci motor saya waktu itu πŸ˜€

3. Nokia 6610 (Akhir 2004)

N6610

Saya ganti ponsel lagi, padahal T600 baru saya pake 2-3 bulan. Waktu itu saya butuh uang untuk memodifikasi motor saya. Akhirnya saya menjual ponsel ini seharga 300K dan uangnya langsung saya pake untuk memodifikasi motor. Lama sekali saya tidak pegang ponsel, sekitar hampir setahun. Akhirnya saya dikasih warisan ponsel abang saya, yakni Nokia 6610. Ponsel ini adalah ponsel paling lama yang pernah saya pake.

4. Nokia 1112 (Medio 2007)

Nokia 1112

Ponsel ini saya beli pada pertengahan 2007. Waktu itu saya sudah kuliah πŸ˜€ Kenapa saya ganti ponsel, karena ponsel lama saya, Nokia 6610 rusak total setelah saya banting. Tidak perlu saya katakan alasannya kan kenapa saya harus membanting ponsel tersebut? Ok.

5. Samsung C170 (Akhir 2007)

C170

Ponsel ini saya beli karena ponsel lama saya hilang di kampus. Waktu itu mau Lebaran 2007, dan saya sedih sekali karena saya belum terlalu puas memakai ponsel tersebut. Saya suka sekali nada dering Nocturno yang ada pada ponsel N1112 tersebut :berduka: fuck buat pencuri ponsel saya di kampus! Yang bikin gela lagi, pulsa di ponsel tersebut hampir menembus angka 300K. Waktu itu saya punya kebiasaan nimbun pulsa, dan akhirnya hilang begitu saja di tangang pencuri.

6. Nokia 1108 (Akhir 2007)

N1108

Samsung C170 tersebut hanya seminggu mampir di tangan saya. Ternyata ponsel tersebut susah dipake dan tidak nyaman, akhirnya saya menjualnya dan menggantinya dengan Nokia 1108. Sampai sekarang saya pake Nokia 1108 πŸ˜€ meskipun sudah berkali-kali jatuh bangun, ponsel tersebut tetap jernih πŸ˜€ hebat!!

7. Nokia 3110 Classic (Medio 2008)

N3110C

Ponsel ini sebenarnya milik adik saya yang saya bajak. Modelnya bagus dan saya suka. Adik saya yang masih ingusan itu saya bodohi dan dia mau saja menyerahkan ponsel ini kepada saya. Waktu itu saya bilang ponsel ini sebagai kenang-kenangan, karena saat itu kedua orangtua saya pindah ke Jakarta dan adik saya ikut pindah, sedangkan saya ngekos di Jogja. Namun, akibat dari kelicikan saya ini, ponsel tersebut hilang juga. Bangsatnya! ilangnya di kampus juga, di tempat yang sama dengan Nokia 1112 saya yang hilang dulu 😦

8. Nokia 1203 (Awal 2010)

N1203

Ponsel ini adalah ponsel yang penuh arti bagi saya. Ponsel ini adalah pemberian ayah saya yang terakhir. Beliau sering bercanda tentang ponsel yang saya gunakan, N1108, bahwa ponsel tersebut adalah ponsel bancet karena suaranya yang masih monoponik. Akhirnya, sebelum keberangkatannya ke China beliau memberikan uang kepada saya untuk membeli ponsel baru yang lebih merdu. Akhirnya uang yang beliau berikan saya belikan ponsel ini, yang murah meriah tapi poliponik, sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ayah pergi ke China tanggal 03 Maret 2010 pagi hari, dan saya membeli ponsel ini tanggal 28 Februari 2010 sore hari di Plaza Atrium Senen. Saya menerima kabar kematian ayah juga lewat ponsel ini. Ketika itu 19 Maret 2010, saya berada di atas KA Bima (Surabaya-Jakarta). Malam harinya (18/3) saya berangkat dari Tugu menuju Jakarta, karena ibu saya sedang bersedih atas kabar kritisnya ayah saya di China, maka saya berniat menemani beliau. Namun, ketika baru sampai Karawang, ibu saya menelpon bahwa ayah saya sudah meninggal 😦

Itulah cerita tentang ponsel saya. Sekarang saya punya dua ponsel, yang satu saya pake (N1108) yang satu lagi (N1203) saya simpan rapi di kardus, sebagai ponsel monumental dalam hidup saya. So, ponsel apa saja yang pernah kita punya? Itulah awal cerita sejarah yang kita punya, dimana kita mulai sadar akan pentingnya berkomunikasi.

:iloveindonesia:

sore-sore menjelang malam
engkau datang dengan oleh-oleh
beberapa botol minuman dan sebungkus roti
kemudian pergi lagi entah kemana

dari remah-remah roti itu, berguguran
bunga-bunga hati, hatiku
diantara kedatanganmu dan sesekali
kepergianmu, ada saat dimana sepi
memanggil waktu untuk berhenti

disini, aku menanti

sore-sore menjelang malam,
ketika sepi menjadi jejak langkahmu

(Jogjakarta, 19 Juli 2010)

Tags:

Kejadian ini berlangsung sekitar tahun 2007. Suatu hari nenek saya kedatangan tamu. Seperti biasa layaknya seorang tuan rumah, nenek saya menyuguhkan aneka makanan kecil sebagai cemilan teman mengobrol. Kebetulan saya sedang berada di rumah nenek. Saya menonton televisi dan berusaha tidak menggubris tamu yang sedang bertandang (karena saya tidak kenal dan paling-paling urusannya tidak bersangkutan dengan saya). Kemudian nenek mengambil satu buah kantong plastik berisi rempeyek kacang kedelai di dus dekat kursi tempat saya duduk. Nenek memindahkannya ke dalam kaleng biskuit yang sudah kosong dan menaruhnya diantara cemilan yang lain.

“Monggo lho didahari, ini yang ini enak, monggo di sekecaaken”, ujarnya sambil menawarkan rempeyek kacang kedelai.

“Nggih mbah, maturnuwun”, jawab si tamu basa basi sembari mengambil sebuah rempeyek dari dalam kaleng.

Glethak glethuk, suara rempeyek masuk ke mulut, dan tiba-tiba saya menahan tawa, ketika si tamu mulai berbicara.

“Mbah nyuwun sewu, niki teksih mentah”, sambil senyum-senyum entah apa artinya.

“Oalah, masih mentah, tak kira sudah digoreng, aduh aduh maaf”, jawab nenek saya dengan rasa malu dan tidak enak hati.

“Anu, dibawa saja ke rumah, nanti digoreng di rumah yak”, tambah nenek sembari membungkuskan rempeyek kacang kedelai yang masih mentah itu.

Sumpah, ini kisah nyata!

Tags: